– Kali ini menceritakan pengalaman Sex dari seorang pengusaha muda bernama Wito. Wito yang mepunyai banyak pengalaman sexs dengan banyak wanita sebelumnya menjadikan dia berfikir tidak sehat. Karena Wito penggemar sexs sampai-sampai seorang wanita tua tidak berdaya dijadikan pelampiasan sexs, dengan alasan penasaran ingin mencobanya. Sungguh benar-benar gila. Mau tahu kelanjutan ceritanya, Langsung aja yuk baca dan simak baik baik cerita dewasa ini.
Perkenalkan namaku Wito, akulah adalah seorang wiraswasta muda yang baru berumur 27 tahun. Di usiaku yang tebilang masih muda ini, aku bisa dibilang adalah seorang pengusaha muda sukses. Sebelumnya saya mohon maaf jika saya terlalu berlebihan dalam mendeskripsikan diri saya, tapi mau bagaimana lagi karena memang inikeadaanya. Jika dibandingkan dengan teman di kampungku, aku memang lebih maju dari mereka.
Semua yang aku punya sampai saat ini bisa dibilang, kehidupanku lebih dari cukup. Bisniskuku adalah jual-beli hewan ternak, kendaraan (motor/mobil). Baru-baru ini aku juga menekuni usaha jual hasil bumi dari Gunungkidul. Sampai-sampai dalam 1 minggu aku harus beberapa kali ke pergi ke pasar induk untuk mengantar pesanan hasil bumi ke beberapa penjual di sana. Nah disinilah awal dari kisah sex yang akan aku ceritakan pada kalian para pembaca.
Berbicara tentang Sexs bukanlah hal yang baru aku kenal. Berawal dari bangku sekolah, kuliah dan shingga sekarang ini, pengalaman sexs-ku sudah tidak terhitung lagi. Sudah banyak sekali aku melakukan hubungan sexs. Mulai dari pacar-pacarku, teman sekolah, teman kuliah, tante-tante kukenal dari jejaring sosial. Bahkan aku juga pernah melakukan nubungan sexs dengan para penjual jasa sexs kelas teri hingga kelas kakap, pokonya tak terhitung deh.
Ditambah lagi bisnisku saat ini amat sangat berkembang pesat, karena itulah tingkat kepercayaaan diriku-pun semakin besar. Selain seorang pemuda yang sukses, aku juga mempunyai wajah yang menawan dan mempunyai tutur kata yang bisa mengambil hati para wanita. Yah mungkin ini memang sudah jalan hidupku, dengan berwajah ganteng, pintar dalam berbicara dan berlimpah oleh harta.hha.
Pada sore itu, aku menyempatkan diri untuk mampir di sebuah warung angkringan (nasi kucing) yag letaknya tidak jauh dari pasar. Saat itu setelah selesai mengantar hasil bumi, suasana begitu lengang , biasanya meski di siang hari seperti ini, tempat ini sangat ramai dengan angkutan pedesaan yang mangkal untuk menunggu penumpang. Inilah awal mula kisah sex-ku dengan seroang Nenek tua. Berawal dari seorang Nenek yang menghampiri kami ( aku dan pedagang Angkringan/ nasi kucing),
“ Maaf sebelumnya Mas, saya mau bertanya, kalau jam segini masih ada angkutan apa tidak yah ? ” ucap seorang Nenek bertanya sembari mendekat dan bertanya kepada kami.
Saat itu kebetulan hanya ada aku dan bapak penjual angkringan( nasi kucing ), lalu,
“ Kalau jam segini sudah tidak ada Mbah ”, kata bapak penjual menjawab pertanyaan Nenek itu.
Oh iya, Semua percakapan ini terjadi dengan menggunakan bahasa Jawa, namun karena saya penulis cerita yang bijak dan adil, maka saya mengubah semua bahasa jawa dengan bahasa Indonesia dengan tanpa mengurangi arti kata yang sebenarnya.
“ Hla itu ada Mas ? ”, ucap Nenek itu sembari menunjuk ke arah mobil pick-upku.
“ Ouh, itu mobilnya Mas-nya ini Mbah, Mas ini bukan ngetem Mbah, tapi Mas ini sedang makan disini ”, ucap penjual angkringan pada Nenek itu.
“ Aduh, saya kemalaman kalau begitu Nenek ”, ucap Nenek itu dengan bahasa tubuh yang menunjukkan expresi kebigugan dan cemas.
“ Rumah Mbah memangnya diman? Kok Mbah bisa sampai kemalaman, memangnya Mbah dari mana saja? ”, ucap penjual angkringan kembali bertanya karena kasihan kepada Nenek itu.
“Rumah saya di Gedangsari Mas, tadi saya jual pisang hasil dari halaman di rumah, sekalian lihat keadaan pasar ”. ucap Nenek itu.
Gedangsari adalah sebuah nama desa, dan Nglipar adalah sebuah kota kecamatan terletak di sebelah barat daya kabupaten Gunungkidul, sedangkan perlu diketahui aku berasal dari sebuah desa di kecamatan Semanu yang terletak di sebelah timur Gunungkidul. Sekilas kuperhatikan si Nenek, meskipun sudah tua dan mungkin usianya sudah diatas 60 tahun tapi badannya langsing, bahkan masih lumayan tegap dibalik kebaya dan kain jariknya.
Kain jarik atau jarit adalah kain yang biasa digunakan sebagai bawahan wanita Jawa yang biasanya dari kain batik, meskipun kulitnya sudah berkeriput. Entah kenapa aku malah menawarkan diri untuk mengantarkan si nenek. jika dipikir dengan itung-itungan mungkin bisa dibilang konyol. Bagaimana tidak, arah rumah Nenek selain jauh juga bertolak belakang dengan arah rumahku, belum lagi soal waktu, solar dan lain sebagainya.
Kalau yang kuantarkan seroang anak gadis SMA atau ibu-ibu muda tentu bukan hal yang rugi bagiku. jujur, bukan rasa iba sebenarnya, tapi karena aku memang tidak ada acara lagi dan tidak ingin untuk segera pulang ke rumah. Yah … siapa tau juga nanti ada rejeki untuk anak soleh, entah si nenek punya anak perawan yang bisa dipacari dan banyak sekali ‘mungkin’ yang berputar di otakku.
“ Mari Mbah saya antar … ”.
Aku-pun menawarkan diri dan segera membayar gorengan dan wedang jahe kepada bapak penjual angkringan yang melongo keheranan dengan tawaranku pada Mbah itu.
“ Terima kasih ya mas … nanana … nannana ”.
Nenek berkali-kali mengucapkan kata-kata yang sebagian kata, aku tidak terlalu jelas dengan artinya ucapanya. Kami pun sudah diatas mobil dan meninggalkan bapak penjual angkringan, di perjalanan kuketahui bahwa nama si nenek adalah Mbah Parti (aku teruskan ceritaku ini dengan memanggilnya ‘Mbah’ saja karena aku memang tidak biasa dengan istilah ‘nenek’, dan aku rasa pembaca juga sudah pasti paham.
Di perjalanan aku jadi tahu bahwa Mbah Parti saat ini tinggal seorang diri. Suaminya yang lama sudah meninggal dan anak perempuan satu-satunya merantau di Jakarta karena bekerja sebagai seorang asisten rumah tanga. Saat itu masih banyak lagi hingga perbincangan kami, sampai pada ahkirnya kami sampai pada percakapan dari semua ini. Lalu aku berkata,
“ Sebelumnya saya sangat berterima kasih kepada Mas, karena Mas sudah mau mengantar Mbah pulang, sekali lagi Mbah berterima kasih sekali ya Mas. Oh iya, Mbah cuma punya ini mas ”.
Mbah Parti sedikit memalingkan tubuhnya membelakangiku dan kemudian berbalik sambil menyodorkan selembar uang lima ribu rupiah. Aku menelan senyum melihatnya dan seketika itulah kebejatanku muncul, aku segera menepikan kendaraanku yang kebetulan juga saat itu kami sudah berada di kawasan hutan daerah sini yang terkenal angker. Lalu aku-pun mulai mengambil dompet dan mengambil selembar uang 50 ribuan utnuk Mbah Parti,
“ Uangnya disimpan saja Mbah, saya ikhlas kok nganterin Mbah … ini malah saya ada uang buat Mbah tapi uang ini ada syaratnya… ”.
“ Memang syaratnya apa Mas ? ”.
Saat itu nampak wajah Mbah Parti sembari menerima uangku,
“ Mbah boleh ambil uang itu kalau Mbah mau kocokin kejantananku? ”.
Aku memang sudah menghitung resiko dengan perbuatanku ini, kalaupun terjadi penolakan, kecil kemungkinannya untuk menjadikan maslah buatku. Selain Mbah Parti yang sudah tua, beliau juga pasti tidak berpikiran untuk melaporkanku pada pihak yang berwajib ataupun orang lain karena mungkin akan sangat merepotkan dan menjadi aib bagi beliau sendiri. Selain itu frekuensinya datang ke pasar pun tidak berkala.
Jadi hanya pada saat ada panen pisang di halaman rumahnya yang bisa beliau jual. Mbah Parti tampak kebingungan dan semakin gelisah sambil melihat-lihat keadaan yang sepi di kanan-kiri karena banyak sekali pepohonan besar.
“ Mas ini kok aneh-aneh sih, Mbah sudah tua dan tempat ini sangat angker mas, ayo kita jalan lagi !!! ”.
“ Jawab dulu Mbah, Mbah mau kocokin kejantananku atau Mbah kembalikan uangku dan turun disini, ini sudah lumayan dekat dengan rumah Mbah dan saya lebih baik putar balik dan pulang ”.
Mbah Parti tak menjawab dan beberapa saat kami berdua terdiam, keadaan sangat sepi, bahkan aku sendiri pun sebenarnya juga merasa ngeri jika harus berlama-lama disini.
“ Ayo mas, kita jalan lagi… ”.
Sampai akhirnya Mbah Parti mengawali pembicaraan kami setelah beberapa saat kami berada dalam keadaan yang sama-sama gelisah. Aku-pun mulaiu memelorotkan celana kolorku sebelum mulai menginjak pedal gas mobilku.
“ Hlo Mas, Mas mau apa, kenapa celananya dipelorotkan disini? ”.
Ketika Mbah Parti mengucapkan kata ‘ Disini ’, aku menganggap ucapan Mbah Parti adalah lampu hijau yang dapat aku simpulkan bahwa beliau bersedia. Tetapi saat itu aku khawatir jika Mbah Parti tidak paham dengan perjanjian kami tadi, atau justru berniat untuk ingkar. Meskipun saat itu aku melihat beliau sedikit melirik kejantananku yang sudah tegak dan besar.
“ Terus mau dimana Mbah? ya sudah ayo kita jalan… ”.
Saat itu aku-pun mengakhiri perdebatan dengan tetap celana kolorku yang masih berada di lutut, lalau aku berkata,
“ Kita jalan ya Mbah ”.
Kemudian aku menarik tangan Mbah Parti yang terasa kaku dan berat karena ada penolakan darinya. Walaupun tenagaku lebih kuat, pada ahkirnya, karena jarak yang masih berjauhan, kulepaskan tangannya lalu menyisipkan tangan kiriku ke belakang pinggang kirinya dan menariknya agar lebih dekat denganku. Raut mukanya tampak kaku dan menatap ke kaca depan meski saat kembali kubimbing tangannya agar menggenggam batang kejantananku.
Setelah tangannya sudah mulai akrab dengan kejantananku, aku pun kembali memegang stir dan menginjak pedal gas dan melanjutkan perjalanan ke rumah Mbah Parti. Tangan Mbah Parti masih menggenggam batang kejantananku dan aku pun mulai membawa mobil pikap kesayanganku perlahan menyusuri jalanan sepi yang memberlah hutan angker ini. Ingin rasanya aku berhenti dan mengajak Mbah Parti untuk melakukan hal yang lebih lagi.
Namun berbagai pertimbangan membuatku mengurungkan niat dan mencoba untuk menikmati sensasi genggaman tangannya yang memang kering dan bertekstur kasar. Sesekali kulepaskan tangan kiriku dari kemudi untuk membimbing tangannya agar bersedia meakukan gerakan naik turun mengocok kejantananku yang semakin tegang dan keras,
“ Ayo dong Mbah … kocokin Mbah … ”.
Aku mulai merajuk seiring dengan akal sehatku yang mulai hilang. Mbah Parti tak bergeming, hanya menatapku kemudian kembali menatap ke arah depan sambil sesekali menggerakan tangannya naik-turun mengocok kejantananku dengan ogah-ogahan, karna kadang tangannya berhenti bergerak meski tetap menggenggam kejantananku.
Tak terasa hingga kami pun keluar dari area hutan Bunder dan sudah tampak satu-dua rumah penduduk di kanan kiri jalan. Kepalaku semakin pening, nafsu yang sudah di ubun-umbun ditambah tangan Mbah Parti yang merenggang dan kemudian melepaskan gengamannya. kali ini aku mencoba bersabar dan mengontrol emosiku, selain detak jantung dan nafsu yang aku coba kendalikan.
Kutepikan pikapku dan menaikkan kembali celana kolor pada tempat semestinya sambil kulihat wajah Mbah Parti yang menunjukan perasaan lega. mungkin dalam pikirannya, tugas dan amanat yang sudah diembannya selesai, tapi itu tidak berlaku buatku. Setelah mesin kumatikan, kubuka laci dashboard dan kuambil tas pinggang tempat aku biasa menyimpan uang hasil penjualan, lalu kuambil dua gulungan uang pecahan senilai 200 ribu.
Saat aku mengambil dua gulungan uang itu, aku memang sengaja memperlihatkan gulungan-gulungan uang lainnya di depan Mbah Parti,
“ Mbah, tadi jual pisang dapet uang berapa? ”.
“ Memangnya kenapa mas …? ”.
Saat itu Mbah Parti balik bertanya sambil melirik ke arah tumpukan uang didalam tasku,
“ Memangnya Mbah tadi dapat uang berapa Mbah ? ”.
“ Mbah tadi jual setengah tandan pisang, karena setengahnya buat persediaan Mbah, maka Mbah hanya dapat uang sedikit mas, hanya 35 ribu, dan uang ini buat beli beras Mbah, untuk persediaan selama 1 bulan ”.
Mbah Parti sedikit terperangah dan kembali memalingkan wajahnya ke kaca depan sambil menjawab pertanyaanku,
“ Tadi kan Mbah sudah saya kasih lima puluh ribu, ini saya tambah lagi dua ratus ribu buat Mbah, silahkan ambil uangnya Mbah, lumayan buat disimpan ”.
Kuraih tangan Mbah Parti dan kuberikan gulungan uang pecahan duaratus ribu kepadanya, sebagian dari hasil penjualan kedelai tadi sore di pasar. Bukan masalah besar bagiku dengan uang itu, karena sekali mengantar 1 ton kedelai impor ke salah satu penjual di pasar aku mendapatkan keuntungan bersih kurang lebih satu juta rupiah. Belum lagi dari hasil usahaku yang lain, dari ternak, dari penjualan isi ulang GasLPG dan usahaku lainya,
“ Uang sebanyak ini buat apa mas ? ”.
“ Uang itu buat Mbah, buat simpanan kalau ada kebutuhan mendadak Mbah, Mbah boleh simpan asal saya boleh bersetubuh sama Mbah silahkan disimpan, gimana? ”.
“ Mas, Mbah ini sudah tua, apa yang mas harapkan dari Mbah ? Di luar sana banyak gadis perawan yang bisa mas nikahin dan mas bisa setubuhi setiap hari… ”.
Mbah Parti kemudian diam terpaku meski gulungan uang yang kuberikan masih dalam genggamannya. Kami berdua sama-sama diam tapi mataku kembali memandanginya untuk meyakinkan apakah tawaranku perlu kulanjutkan, atau sebaiknya kuminta kembali uangku dan mengurungkan kegilaan ini. Rasa penasaranku yang begitu kuat pada Mbah Parti ternyata mendorongku untuk tetap melanjutkan misi gila ini.
Lalu kuambil kembali tas uangku dan kuambil lima lembar uang lima puluh ribu rupiah, kuhitung di depan Mbah Parti semua uang yang sudah aku berikan kepadanya.
“ Mbah, ini saya tambah lagi Mbah, semuanya 500 ribu buat Mbah. Silahkan diambil dan disimpan asal saya boleh setubuhi Mbah. tapi kalau sampai mbah tidak mau, Mbah harus kembalikan semua uang saya dan kita lupakan semua ini. ”.
Aku menyelipakan lembaran uang itu ke genggaman tangan Mbah Parti yang masih memegang gulungan uang yang sebelumnya kutawarkan padanya,
“ Mas ini memang sudah gila rupanya… ”.
“ Terserah Mbah, silahkan ambil atau kembalikan ”.
“ Ayo jalan mas, yang penting kita sampai rumah dulu… ”.
Mbah Parti berusaha mengahkiri perdebatan kami di jalan. Kali ini aku sudah pasrah dan kurasa memang tidak ada yang perlu diperdebatkan, apalagi setelah kulihat jam tanganku, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 . Yang pasti setelah aku mulai menjalankan kembali mobil pick-up kesayanganku , Mbah Parti masih saja menggenggam uang itu.
singkat cerita kami-pun tiba di daerah Gedangsari, namun rumah Mbah Parti ternyata masih masuk jauh dari jalanan aspal. Beberapa saat setelah kami melewati persawahan dan perkebunan, pada akhirnya kami-pun sampai di depan rumahnya. Meskipun jauh didalam kampung, rumah Mbah Parti tergolong masih lumayan layak meski bangunannya semi permanen. Lalu Mbah Parti berkata,
“ Ya ini rumah reot Mbah Mas, Ayo silahkan duduk mas !!! ”.
Kulihat keceriaan wajah Mbah Parti saat ia menawarkanku untuk turun dan singgah ke rumahnya.
“ Iya Mbah… ”.
Kulihat kembali Mbah Parti yang kesusahan mencari handle pintu mobil dan lucunya, uang penawaranku pada saat itu juga diselipkan di balik kain stagen ( stagen adalah semacam korset dari kain bahan ). Aku pun berkata dalam hati,
“ Iya Mbah, aku akan mengikuti semua rencana Mbah… ”.
Karena dengan keadaan saat itu, aku justru punya pikiran buruk terhadap Mbah Parti, bagaimana dengan nasib uang dan penawaran?, tapi apapun yang terjadi, aku harus bisa bersetubuh atau uangku harus dikembalikan. Setelah dibukakan pintu dan aku dipersilahkan masuk, Mbah Parti ijin untuk membersihkan diri di belakang. Setelah beberapa saat, setelah aku duduk di kursi ruang tamunya, satu dua orang tetangga mulai datang ke rumah Mbah Parti.
“ Sial, ada apa lagi ini… ”. ucapku dalam hati.
Para tetangga menanyakan keberadaan dan keadaan Mbah Parti kepadaku karena mereka terkejut ada mobil yang datang dan parkir di rumah Mbah Parti.Tak biasanya ada kendaraan yang datang ke desa, apalagi parkir di halaman rumah Mbah Parti. Aku sedikit lega karena kedatangan mereka hanyalah untuk tahu keadaan Mbah Parti. Aku kemudian menjelaskan bagaimana ceritanya hingga aku bisa datang ke rumah Mbah Parti.
Apalagi tak selang berapa lama, Mbah Parti datang dan menjelaskan hal yang sama. Para tetangga pun ahkirnya lega setelah mengetahui maksud kedatanganku dan mereka justru sangat berterima kasih kepadaku. Mbah Parti juga menjelaskan pada para tetangga bahwa aku sudah berbaik hati menolongnya dan diperkenankan untuk menginap karena sudah larut malam, Mbah Parti merasa iba jika aku harus pulang saat itu juga.
Tetangga ternyata punya pikiran yang sama, apalagi saat itu aku memang berusaha untuk bertutur kata dan bersikap sesopan mungkin kepada mereka, meski soal identitasku memang aku memilih untuk berbohong. Toh Mbah Parti sudah tua, mungkin mereka pikir jika pemuda seganteng dan sopan nan baik hati sepertiku pasti tidak akan punya niat macam-macam. Setelah puas berbincang , lalu akupun berpamitan dengan para tetangga untuk beristirahat.
Setelah mengantar para tetangga sampai luar rumah, aku bergegas masuk kembali kedalam mobil untuk mengambil perlengkapan perangku. Perlengkapan perangku yang memang sengaja kusimpan dalam boks P3K yang tadinya berfungsi sebagai Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan, kini beralih Pertolongan Pertama Pada Kekonakan.hha. Memang seperti itulah adanya, selain kondom, obat perangsang, botol baby oil aku juga membawa gel pelumas.
Barang yang kuperlukan saat itu hanyalah gel pelumas dan baby oil. Kemudian aku ambilah keduanya, selesai itu, lalu kukunci kembali pintu dan segera masuk kedalam rumah. Mbah Parti ternyata sudah mempersiapkan kamar anak perempuannya sebagai tempat tidurku saat aku masih berada di luar rumah tadi, setelah aku masuk rumah dan mengunci pintu depan, Mbah Parti keluar dari kamar dan mempersilahkan aku untuk beristirahat.
“ Silahkan mas, mas tidur di kamar anak saya, sudah selesai saya bersihkan… ”.
“ Mbah, pejanjian kita tadi bagaimana Mbah ? ”.
Saat itu Mbah Parti tidak menjawab dan raut mukanya berubah sedikit gugup. Tanpa menunggu jawabanya, aku berjalan mendekat ke arahnya, kupegang kedua lengannya dengan lembut, kuusap pelan-pelan-pelan lalu ak beralih ke arah dada-nya, kedua payudaranya jelas sudah kendor, namun aku tetap merasa penasaran hingga kubuka kancing kebayanya. Saatb itu Mbah Parti hanya diam dan tidak berontak dengan kelakuanku padanya.
Dengan disinari lampu bolam 10 watt sebagai penerang ruang utama di rumahnya.
Perlahan kulepas baju kebayanya, ia tetap tak bergeming.Bahkan saat kukecup bibirnya yang sudah tak ada lagi kelembutan yang tersisa. Aku mulai menelanjanginginya, kulepaskan beha hitam yang menutupi kedua payudara Mbah Parti yang hanya berupa kulit menggantung. Anganku pun tak hanya berhenti disitu, aku juga lepaskan stagen dan kain jariknya.
Jadi secara otomatis pakaian Mbah Parti melorot, sehingga tampaklah pangkal pahanya yang ditumbuhi bulu-panjang tapi sedikit ( efek usia ). Tidak kusangka saat itu Mbah Parti ternyata tidak memakai celana dalam, namun aku sudah tidak peduli akan hal itu, yang kupedulikan saat ini adalah seorang nenek dengan tubuh telanjang bulat di depanku.
Mbah Parti tak berusaha menutupi bagian-bagian vital tubuhnya sehingga aku lebih leluasa untuk menikmatinya. Kejantananku semakin mengeras dan akupun juga melucuti pakainku hingga kami sama-sama berdiri telanjang bulat di ruang tengah rumahnya. Perlahan kubelai kulit lengannya yang sudah kering keriput, kuusap hingga ke punggungnya lalu tanganku mengarah kebawah ke bagian putting payudaranya.
Mbah Parti tak bereaksi, entah apa yang dirasakannya, aku tak peduli. Kuraih tangannya dan kubimbimbing masuk kedalam kamar. Sampai di dalam kamar kupeluk ia dari belakang dan kembali kumainkan kedua putingnya sambil kejantananku kugesekkan ke belahan pantatnya. Kubalik badan Mbah Parti dan aku menunduk untuk kembali melumat bibirnya.
Aku memang tidak mengharapkan balasan dari bibirnya yang sedari tadi hanya terkunci rapat. Perlahan Mbah Parti kubaringkan diatas dipan kayu didalam kamar anaknya yang berlantai tanah.
Dengan cepat lalu kusibakkan kedua paha Mbah Parti, dan sementara itu aku masih dalam keadaan berdiri sambil mengelus gundukan tulang diatas kewanitaa-nya,
“ Mas, kejantananmu jangan dimasukkan ke kewanitaanku ya !!! kewanitaanku soalnya sudah kering, pasti nanti akan terasa perih sekali, ditambah lagi kejantanan Mas besar sekali ”.
Lalu Mbah Parti tiba-tiba membuka mulutnya dan memecahkan suasana sayhdu malam itu, Lalu aku coba menengkanya dengan berkata,
“ Tenang saja Mbah, Mbah tidak usah takut, nanti biar saya coba-pelan-dulu ya Mbah… ”.
Saat itu Mbah Parti tak menjawab seketika aku berjalan keluar kamar dan mengambil botol baby Oil yang sudah kusiapkan. Aku kembali berada di hadapannya, kubuka kembali kedua pahanya dan perlahan kuteteskan baby oil ke bagian kewanitaa-nya. Kuusap perlahan lipatan-lipatan kulit yang sudah berwarna senada dengan kulitnya yang sawo matang itu. Sejengkal demi sejengkal kujelajahi lipatan kewanitaa-nya untuk mencari lubang surgawinya.
Meskipun saat itu nafsuku sudah benar-bener memuncak, aku sadar bahwa aku perlu bersabar agar malam indah yang kulalui bersama Mbah Parti ini berjalan lancar dan tidak berujung petaka. Kuselipkan jari telunjukku yang sudah berlumur baby oil secara perlahan ke dlam rongga vaginanya yang sedilit demi sedikit mulai lemas dan elastis. Aku benar-benar menikmati hal ini detik demi detikin hgga kuputuskan untuk melumuri kejantananku dengan baby oil.
Sesekali kupandangi wajah Mbah Parti sambil perlahan kutempelkan ujung kejantananku ke mulut kewanitaa-nya,
“ Uohhh… Sss… Aghhh… ”.
Mbah Parti hanya berdesis sambil raut mukanya seperti menahan rasa perih. Mungkin karena Kejantananku yang terlalu besar ini membuat kewanitaa-nya kaget, aku tak peduli meskipun tetap kulakukan dengan hati-hati. Mulanya hanya sebagian ujung kepala kejantananku yang kumasukan dan kulakukan dengan gerakan maju mundur, sesekali kuteteskan baby oil di gundukan kewanitaa-nya hingga mengalir dan mengenai ujung kejantananku.
Bagai melakukan senggama dengan seorang gadis perawan, namun sensasi ini masih saja kunikmati dengan sabar. Sesekali kulepaskan ujung kejantananku dari lubang kewanitaa-nya, sekedar rehat bahkan aku sempat juga menyalakan sebatang rokok agar aku bisa sedikit rileks. Kumasukan kembali ujung kepala kejantananku yang sudah kuberi tambahan baby oil, kali ini perlahan kutambah kedalaman penetrasi kejantananku kedalam kewanitaan Mbah Parti.
Kini seluruh kepala kejantananku sudah ditelan oleh mulut kewanitaa-nya yang memang sudah lebih merenggang. Perlahan kumasukan lebih dalam dengan kecepatan gerakan yang kutambah meski tidak signifikan hingga ahkirnya,
“ Oughhh… Ssss… Aghhh… Aku keluar Mbah… Aghhhhhhhhhhhh… ”.
“ Crottttt… Crottttt… Crottttt… ”.
Saat itu aku-pun mendesah meski dengan suara yang tertahan saat kejantananku berkedut kurang lebih 4 kali. Setelah puas membanjiri liang senggama Mbah Parti dengan Spermaku itu, kucabutlah kejantananku dari liang senggama Mbah Parti. Saat itu nampak sekali cairan putih kental ikut megalir keluar, bahkan spermaku saat itu banyak sekali. Setelah tercabut, nampak wajah Mbah Parti tampak lega saat karena aku telah orgasme.
Aku tidak tahu, raut wajah beliau merasakan kepuasan, atau karena dia sudah lepas dari penderitaannya. Tapi itu tidak terlalu aku fikirkan, yang penting Mbah Parti masih tetap bernafas karena itu membuatku lega. Kemudian aku kembali mengenakan pakaian sebelum memutuskan berpamitan untuk beristirahat. Namun sebelum tidur, aku memastikan dulu keadaan Mbah Parti, memastikan dalam arti mbah Parti masih baik-baik saja dan bisa kembali kekamarnya.
Singkat cerita mentari pagipun telah muncul, kira-kira sekitar jam 08.00 pagi aku baru terbangun dari tidur nikmat pemberian Mbah Parti semalam. Setelah itu aku pergi ke kamar mandi untuk cuci muka, lalu selesai cuci muka aku mulai mencari Mbah Parti bermaksud untuk berpamitan pulang. Singkat cerita aku-pun masuk kekamar Mbah Parti yang saat itu baru terjaga tidurnya, dan aku-pun berpamitan pulang untuk melakukan aktifitas usahaku seperti biasanya.
Dari kejadian itu, aku tidak pernah menemui Mbah Parti lagi, cukup sekali ini saja aku melecehkan seorang wanita tua tak berdaya. Sungguh ini adalah pengalaman sexs yang paling gila untuku dibandingkan dari beberapa pengalaman sexsku sebelumnya. Terima kasih Mbah Parti karena engkau telah memberikan pengalaman dan kenikmatan yang baru aku rasakan kali ini, semoga Mbah sehat dan diberi umur panjang. Selesai.,,,,,,,,,,,