“Wah, jadi Mbak sendirian dong di rumah?” tanyaku basa basi.
“Iya, asyik kan? Kita bisa pacaran.” sahut si Mbak.
Aku cuma tertawa, karena memang sudah biasa dia ngomong begitu.
“Duduk dulu dong Wan, ngobrol ama Mbak ngapa sih.” katanya.
Akupun duduk di kursi sebelah kirinya, si Mbak sedang minum anggur cap orangtua. Aku tahu dia memang suka minum anggur, mungkin itu juga sebabnya tidak ada suami yang betah sama dia.
“Si Amir mana mbak?” tanyaku menanyakan anaknya.
“Diajak ke Depok.” sahutnya pendek.
“Mau minum nggak Wan?” dia nawarin anggurnya.
Bukannya kaget, aku yang sudah setengah mabok itu malah menjawab terus terang, “Abis tetek Mbak gede banget, bikin saya napsu aja.”
Eh, dia malah merogoh toket kirinya, terus dikeluarkan dari branya.
“Kalo napsu, pegang aja Wan. Nih,” katanya sambil mengasongkan toketnya ke depan.
“Diemut juga boleh Wan.” tambahnya.
Aku yang sudah mabok alkohol, semakin pusing karena ditambah mabok kepayang akibat tantangan Mbak Emi.
“Boleh Mbak?” tanyaku lugu.
“Dari dulu kan Mbak udah pengen buka “segel” Irwan. Irwannya aja yang jual mahal.” katanya sambil memegang kepalaku dengan tangan kirinya dan menekan kepalaku ke arah toketnya.
“Jangan cuma diendus gitu ngapa. Keluarin lidah Irwan, jilatin pentil Mbak, terus diemut juga. Ayo coba” Mbak Emi mengajariku sambil kembali tangannya menekan kepalaku.
“Naah, gitu Wan. Terusin Waann. Gigit pentil Mbak Wan, tapi jangan kenceng gigitnya, pelan aja.” pinta si Mbak.
Sambil menjilati telingaku, tangannya menarik tanganku dan dibawanya ke toketnya, sambil membisikkan, “Remes-remes tetek Mbak dong Waann.” Aku menurutinya, dan kudengar desahan si Mbak yang membuatku semakin bergairah, sehingga remasanku pada teteknya juga semakin intens.
“Aauugghh.. Sshh.. Naahh gitu Wan.”
Kujilati telinganya, dan dia mendesah kenikmatan. Lagi, dia menekan kepalaku untuk mencapai teteknya yang semakin mencuat pentilnya. Aku mencoba mengambil inisiatif untuk memegang vaginanya. Tangan kiriku bergerak turun untuk menyentuh bagian paling intim Mbak Emi. Tapi Mbak Emi menahan tanganku.
“Nanti dong Waan, sabar ya sayaanng.” Aku sudah gemetar menahan gairah yang kurasakan mendesak di sekujur tubuhku.
“Mbak, Irwan pengen Mbak.” pintaku.
“Pengen apa Waan,” tanya Mbak Emi menggodaku.
“Pengen liat itu.” kataku sambil menunjuk ke selangkangan Mbak Emi yang masih tertutup rok merah dari bahan yang tipis.
“Pengen liat memek Mbak?” Mbak Emi menegaskan apa yang kuminta.
“Iya Mbak.” jawabku.
“Itu sih gampang, tinggal Mbak singkapin rok Mbak, udah keliatan tuh.” kata Mbak Emi sambil menyingkapkan roknya ke atas, sehingga terlihat celana dalamnya yang berwarna biru tua.
Dan kulihat segunduk daging di balik celana dalam biru tua itu. Aku menelan ludah dan terpaksa menahan untuk tidak limbung. Sungguh luar biasa bentuk gundukan di balik celana dalam itu. Aku memang baru pertama kali melihat gundukan memek, tapi aku yakin kalo gundukan memek Mbak Emi sangat montok alias tembem sekali. Dan Mbak Emi memang sengaja ingin menggodaku, dia menahan singkapan roknya itu beberapa lama, dan saat aku ingin menyentuhnya, dia kembali menutupnya sambil tertawa menggoda.
“Jangan disini dong Wan. Ntar kita digerebek lagi kalo ada yang tau.” kata Mbak Emi sambil berdiri dan menuntun tanganku ke dalam rumahnya.
Bagai kerbau dicocok hidungnya akupun menurut saja. Aku sudah pasrah, aku ingin sekali merasakan nikmatnya Mbak Emi. Dan yang pasti aku sudah telanjur hanyut oleh permainannya yang pandai sekali membawaku ke dalam jebakan kenikmatan permainan sorgawinya. filmbokepjepang.com
“Wan, kamu bener-bener pengen ngeliat memek Mbak?”
Aku mengangguk, karena pertanyaan ini membuatku tidak bisa menjawab. Semakin mabok rasanya. Mbak Emi kemudian melepaskan rok dan bra yang dipakainya dan sekarang tinggal celana dalamnya saja yang masih tersisa. Kembali aku menelan ludah. Dan pandanganku terpaku pada gundukan di balik celana dalam Mbak Emi. Betapa montoknya gundukan memek Mbak Emi.
Benar saja, memek Mbak Emi sangat tebal, dagingnya terlihat begitu menggairahkan. Dengan bulu yang lebat, semakin membuatku tidak karuan rasanya.
“Katanya pengen ngeliat, sini dong liatnya dari deket Wan,” kata Mbak Emi.
“I iya Mbak,” sahutku terbata sambil mendekatkan wajahku ke selangkangan Mbak Emi. Dia melebarkan kedua pahanya sehingga membuka jalan bagiku untuk lebih mendekat ke memeknya.
“Niih, puas-puasin deh liatin memek Mbak, Wan.” kata Mbak Emi.
Setelah dekat, apa yang kulihat sungguh membuatku tidak kuat untuk tidak gemetar. Belahan daging yang kulihat ini sangat indah, berwarna merah, bulunya lebat sekali menambah keindahan. Di bagian atas, mencuat daging kecil yang seperti menantangku untuk menjamahnya. Aromanya, sebuah aroma yang aneh, namun membuatku semakin horny.
“Udah? Cuma diliatin aja? Nggak mau nyium itil Mbak?” pancing Mbak Emi sambil dua jari tangan kanannya menggosok-gosok daging kecil yang mencuat di bagian atas memeknya.
“Mm.. Mmau Mbak. Mau banget.” kataku antusias. Lalu tangan Mbak Emi menekan kepalaku sehingga semakin dekat ke memeknya. “Ya udah cium dong kalo gitu, itil Mbak udah nggak tahan pengen Irwan ciumin, jilatin, gigitin.”
Suara rintihan dan desahan Mbak Emi membuatku semakin bergairah menjilati seluruh bagian memek Mbak Emi. Bahkan sekarang kumasukkan lidahku ke dalam jepitan bibir memek Mbak Emi. Tangan Mbak Emi menekan kepalaku, sehingga wajahku semakin terbenam dalam selangkangan Mbak Emi. Agak susah juga aku bernafas, tapi aku senang sekali.
Tapi itu tidak menghentikan permainan lidahku di dalam jepitan daging memek Mbak Emi. Desahan Mbak Emi semakin keras begitu juga dengan gerakan pinggulnya, aku semakin bersemangat menjilati, dan sesekali aku menjepit itilnya dengan kedua bibirku, dan rupanya ini sangat membuat Mbak Emi terangsang, terbukti setiap kali aku menjepit itilnya dengan bibir, Mbak Emi mengejang dan mendesah lebih keras.
“Sshh, aarrghhgghh, Wan, itu enak banget waan..”
Tapi, putaran pinggul Mbak Emi terhenti, sebagai gantinya, sesekali dia menghentakkan pantatnya ke atas. Hentakan-hentakan ini membuat wajahku seperti mengangguk-angguk. Erangannya semakin keras, dan tiba-tiba dia menjerit kecil, tubuhnya mengejang, pantatnya diangkat keatas, sedangkan tangannya menekan kepalaku dengan kencang ke memeknya. Dan kurasakan di dalam memek Mbak Emi ada cairan yang membanjir dan ada rasa gurih yang nikmat sekali pada lidahku.
Desahan Mbak Emi seperti sedang menahan sakit. Tapi belakangan baru aku tahu bahwa ternyata Mbak Emi sedang mengalami orgasme. Dan pantat Mbak Emi berputar pelan sambil terkadang terhentak keatas, dan tubuhnya mengejang. Sementara itu, cairan yang membanjir keluar itu ada yang tertelan sedikit olehku, tapi setelah aku tahu bahwa rasanya enak, akupun menjilati sisa cairan yang masih mengalir keluar dari memek Mbak Emi. Mbak Emi kembali menggeliat dan mengerang seperti orang sedang menahan sakit.
Lalu Mbak Emi melepaskan ciumannya dan berkata, “Wan, terima kasih ya. Enak banget deh. Mbak puas. Ayo sekarang giliran Mbak.”
“Lumayan juga titit kamu Wan. Gede juga, keras lagi.” celetuk Mbak Emi.
Tak membuang waktu, Mbak Emi segera menurunkan wajahnya sehingga mulutnya menyentuh kepala tititku. Dikecupnya kepala tititku dengan lembut, kemudian dikeluarkannya lidahnya, mulai menjilati kepala, lalu batang dan turun ke.. Bijiku. Semua dilakukannya sambil mengocok tititku dengan gerakan halus. Lidahnya bergerak turun naik dengan lincahnya membuatku semakin tidak terkendali. Aku mendesah dan mengerang merasakan kenikmatan dan sensasi yang Mbak Emi berikan. Sungguh luar biasa permainan lidah Mbak Emi.
Setelah beberapa lama, Mbak Emi menghentikan lidahnya. Rupanya dia sudah merasa bahwa tingkat ereksiku sudah cukup untuk memulai permainan.
“Udah Wan, sekarang Irwan masukkin kontol Irwan ke memek Mbak. Adduhh, Mbak udah nggak sabar pengen disiram sama perjaka. Biar Mbak awet muda Wan.” kata Mbak Emi.
Aku tak mengerti maksud Mbak Emi, tapi yang jelas, sekarang Mbak Emi kembali tiduran dan menyuruhku mulai mengambil posisi di atasnya. Mbak Emi melebarkan kedua kakinya sehingga aku bisa masuk di antara kakinya itu. Kemudian Mbak Emi memegang tititku dan mengarahkannya ke memeknya yang sudah menanti untuk kumasuki. Mbak Emi meletakkan tititku di depan memeknya, kemudian berkata, “Nah, sekarang teken Wan.”
Aku tidak menunggu lebih lama lagi. Segera kutekan tititku memasuki kegelapan memek Mbak Emi. Kurasakan tititku seperti dijepit daging yang sangat keras namun lembut dan kenyal, agak licin tapi sekaligus juga agak seret.
“Aagghh.. Pelan dulu Wan,” pinta Mbak Emi.
Saat kepala tititku sudah masuk, Mbak Emi menggoyangkan pinggulnya sedikit, membuatku semakin mudah untuk memasukkan seluruh tititku. Dan akhirnya terbenamlah sudah tititku di dalam memeknya. Jepitannya kuat sekali, namun ada kelicinan yang membuatku merasa seperti di dalam sorga. Kemudian Mbak Emi terdiam. DIa berkonsentrasi agaknya, karena tahu-tahu kurasakan tititku seperti disedot oleh memek Mbak Emi. Ya ampuun, rasanya mau meledak tubuhku merasakan denyutan di memek Mbak Emi ini. Tititku seperti dijepit dan tidak bisa kugerakkan. Seperti ada cincin yang mengikat tititku di dalam memek Mbak Emi. Aku agak bingung, karena aku tidak bisa bergerak sama sekali.
“Mbak, apa nih?” aku bertanya.
“Enak nggak Wan?” tanya Mbak Emi.
“Iya Mbak, enak banget. Apaan tuh tadi Mbak?” aku kembali bertanya.
Mbak Emi tidak menjawab, hanya tersenyum penuh kebanggaan. Kemudian Mbak Emi melepaskan jepitan memeknya pada tititku.
“Sekarang kamu gerakin keluar masuk titit kamu ya Wan.” perintah Mbak Emi.
Dan akupun mulai permainan sesungguhnya, kugerakkan tititku keluar masuk di lorong kenikmatan Mbak Emi. Setiap gerakan yang kubuat menimbulkan sensasi yang luar biasa, baik untukku maupun untuk Mbak Emi. Mula-mula pelan saja gerakanku, tapi lama-lama, mungkin karena nafsu yang semakin besar, gerakanku semakin cepat. Dan Mbak Emi mengimbangi gerakanku dengan putaran pinggulnya yang mengombang-ambingkan tubuhku. Putaran pinggul Mbak Emi membuat seperti ada yang mau meledak dalam diriku.
“Hhgghh.. Oogghh.. Sshh, Waann. Kamu jago banget waann..” desah Mbak Emi.
Aku tidak tahu apa maksudnya, namun pujiannya membuatku semakin memacu “motor”ku menerobos kegelapan di lorong Mbak Emi. Lalu Mbak menghentikan putaran pinggulnya dan melingkarkan kakinya ke kakiku sehingga kembali aku tidak bisa bergerak leluasa.
“Wan, sekarang kamu diem aja, kamu rasain aja mpot ayam Mbak.” perintahnya.
Lagi, aku tak tahu apa maksudnya, namun Mbak Emi mencium bibirku dan lidahnya mengajakku berpagutan kembali.
“Mbak udah mau keluar lagi nih wan, kita barengin ya sayang, Mbak tanggung pasti enak deh.” kata Mbak Emi.
“Mbakk.. Adduuhh.. Sayaa..” aku tidak dapat meneruskan kata-kataku, tapi Mbak Emi rupanya mengerti bahwa aku sudah hampir mencapai klimaksku.
“Tahan Wan, Mbak juga mau nyampe nih, Barengin ya Wan.” kata Mbak Emi.
Aku tak peduli, karena aku tidak bisa menahannya, dengan erangan panjang, aku merasakan tititku mengeras dan tubuhku mengejang. Kuhunjamkan tititku dalam-dalam ke memek Mbak Emi, dan menyemburlah lahar yang sudah mendesak dari tadi ke dalam memek Mbak Emi.
“Mbaaaaaaaak.. Aagghh..”
Croott… Crroott… Mbak Emipun menjerit kecil dan tubuhnya menegang, tangannya memeluk dengan kuat. Di dalam kegelapan memek Mbak Emi, semprotan air maniku bercampur dengan banjirnya air mani Mbak Emi. Aku tak bisa mengungkapkan bagaimana enaknya sensasi yang kurasakan. Pinggul Mbak Emi bergetar, dan menghentak dengan kerasnya. Memeknya berdenyut-denyut, enak sekali. Banyak selaki lahar yang kumuntahkan di memek Mbak Emi, ditambah lahar Mbak Emi, rupanya tidak mampu ditampung semuanya, sehingga sebagian meleleh keluar dari memek Mbak Emi dan turun ke belahan pantatnya.
Lama kami berdiam dalam posisi masih berpelukan, tititku masih terbenam di memek Mbak Emi. Tubuh kami bersimbah peluh, nafas kami masih memburu. Kemudian, Mbak Emi tersenyum, lalu menciumku.
“Mbak, Ma kasih ya Mbak. Enak banget deh tadi Mbak.” kataku.
“Sama-sama Wan, Mbak juga terima kasih udah dikasih perjaka kamu. Besok mau lagi nggak?” tantang Mbak Emi.