Keluar dari keluarga India itu aku tidak pulang. Malu rasanya kalau baru dua bulan kerja lalu pulang. Dengan uang pemberian mereka yang cukup banyak aku indekost di suatu kampung yang biayanya hanya 50 ribu sebulan. Aku berpikir dalam sebulan pasti sudah mendapat tempat kerja baru. Sisa uang kutabung dan sebagian kukirim ke desa.
Tempat kostku ada 10 kamar berhadap-hadapan, dihuni 6 pria dan 4 wanita yang sudah kerja semua. Kalau siang suasana kost sepi karena hanya aku yang tinggal sendirian. Menjelang malam suasana berubah ramai karena mereka sudah pulang. Pergaulan di situ lama-lama kurasakan akrab sekali, bahkan agak keterlaluan. Bagaimana tidak keterlaluan kalau seorang pria hanya dengan berbalut handuk memasuki kamar wanita dan ngobrol sembari menunggu giliran kamar mandi.
Si wanita yang hanya berdaster pun cuek saja tempat tidurnya diduduki si pria. Malah kadang mereka duduk berjajar sambil senggol-senggolan. Tangan si pria dengan bebas meremas tetek si wanita, sebaliknya si wanita dengan tenang mereMas barang si pria di balik handuknya sampai meringis. Akhirnya mereka jadi saling pagut berpelukan bergulingan. Ya, bebas sekali pergaulan di situ. Kalau mau lebih tahu, malam hari ada juga pria yang terlihat mengendap-endap memasuki salah satu kamar wanita, dan tidak keluar lagi sampai pagi hari. Kita tentu tahu apa yang terjadi di kamar itu.
Seminggu tinggal di kost itu aku berusaha cuek terhadap perilaku mereka dan tidak ikut-ikutan. Namun aku tetap ngobrol ramah dengan mereka.
“Malam minggu besok kita mau pesta, Nul!” ujar Sari memberitahu.
“Pesta apa?” tanyaku.
“Pokoknya asyik. Kita bikin acara dan tidak akan tidur semalam suntuk. Biasanya kami adakan ini dua bulan sekali tanggal muda. Maklum, setelah kerja dua bulan kan cape. Kita perlu refreshing. Kamu ikut aja ya, Nul,”
“Ee..ee. gimana ya. Apa aku tidak mengganggu?”
“Justru acara ini untuk menyambutmu sebagai penghuni baru, Nul. Kamu harus ikut menikmati,” sambung Sari.
Dan jadilah esok harinya, ketika pulang kerja lebih awal karena hari Sabtu, kulihat masing-masing wanitanya membawa belanjaan cukup banyak. Sedangkan para prianya membawa beberapa botol dalam kardus. Jam 5 sore semua penghuni sudah pulang. Pintu gerbang kost ditutup dan dikunci. Jam 6 petang semua sudah selesai mandi dan ganti pakaian lalu kami menuju ke kamar Mas Jono yang paling besar. Seluruh makanan dan minuman digelar di lantai dan kami duduk berkeliling di tikar.
“Mari kita mulai acara untuk menyambut Inul di tengah kita. Silahkan makan dan minum sepuasnya sambil nonton film kesukaan kita.”
Tempat kostku ada 10 kamar berhadap-hadapan, dihuni 6 pria dan 4 wanita yang sudah kerja semua. Kalau siang suasana kost sepi karena hanya aku yang tinggal sendirian. Menjelang malam suasana berubah ramai karena mereka sudah pulang. Pergaulan di situ lama-lama kurasakan akrab sekali, bahkan agak keterlaluan. Bagaimana tidak keterlaluan kalau seorang pria hanya dengan berbalut handuk memasuki kamar wanita dan ngobrol sembari menunggu giliran kamar mandi.
Si wanita yang hanya berdaster pun cuek saja tempat tidurnya diduduki si pria. Malah kadang mereka duduk berjajar sambil senggol-senggolan. Tangan si pria dengan bebas meremas tetek si wanita, sebaliknya si wanita dengan tenang mereMas barang si pria di balik handuknya sampai meringis. Akhirnya mereka jadi saling pagut berpelukan bergulingan. Ya, bebas sekali pergaulan di situ. Kalau mau lebih tahu, malam hari ada juga pria yang terlihat mengendap-endap memasuki salah satu kamar wanita, dan tidak keluar lagi sampai pagi hari. Kita tentu tahu apa yang terjadi di kamar itu.
Seminggu tinggal di kost itu aku berusaha cuek terhadap perilaku mereka dan tidak ikut-ikutan. Namun aku tetap ngobrol ramah dengan mereka.
“Malam minggu besok kita mau pesta, Nul!” ujar Sari memberitahu.
“Pesta apa?” tanyaku.
“Pokoknya asyik. Kita bikin acara dan tidak akan tidur semalam suntuk. Biasanya kami adakan ini dua bulan sekali tanggal muda. Maklum, setelah kerja dua bulan kan cape. Kita perlu refreshing. Kamu ikut aja ya, Nul,”
“Ee..ee. gimana ya. Apa aku tidak mengganggu?”
“Justru acara ini untuk menyambutmu sebagai penghuni baru, Nul. Kamu harus ikut menikmati,” sambung Sari.
Dan jadilah esok harinya, ketika pulang kerja lebih awal karena hari Sabtu, kulihat masing-masing wanitanya membawa belanjaan cukup banyak. Sedangkan para prianya membawa beberapa botol dalam kardus. Jam 5 sore semua penghuni sudah pulang. Pintu gerbang kost ditutup dan dikunci. Jam 6 petang semua sudah selesai mandi dan ganti pakaian lalu kami menuju ke kamar Mas Jono yang paling besar. Seluruh makanan dan minuman digelar di lantai dan kami duduk berkeliling di tikar.
“Mari kita mulai acara untuk menyambut Inul di tengah kita. Silahkan makan dan minum sepuasnya sambil nonton film kesukaan kita.”
Lalu berbareng kami mulai mengambil makanan yang tersedia di situ. Ada nasi goreng, bakmi, gorengan dll. Minumannya ada coca cola, fanta bahkan bir. Dan Mas Jono menyetel vCDnya. Film porno pasti! Ya, sambil makan minum dan cekikin kami melihat adegan film.
“Lihat tuh, ceweknya dikerjain sambil nungging!” celetuk Bonar.
“Kayak Sari deh. Hobi!” timpal Dodi.
“Ala, bilang aja kamu suka kan, Dod?” tanggap Sari,
“Sayang punyamu nggak segede yang difilm itu!” disambut gelak tawa semua. Aku mesem aja.
“Ayo diminum, Nul,” Mas Jono memberiku segelas coca cola. Kuterima sambil berterima kasih.
“Mau coba bir?” tanyanya lagi. Aku menggeleng menolak.
“Gak apa-apa, Nul, coba aja,” ajak Tini sambil menagmbilkanku separuh gelas dan menyodorkan kepadaku. “Rasanya enak kok, badan jadi hangat.”
Sambil makan minum tak terasa aku ikut menenggak bir itu meski cuma setengah gelas. Kepalaku terasa panas, apalagi sambil menonton film porno itu aku jadi ingat pengalaman seksku dengan keluarga India itu.
Di layar kaca terlihat seorang cewek dikerjai 3 orang sekaligus. Aku membayangkan diriku sedang melayani Pak Anand dan kedua putranya. Ugh. tak terasa syahwatku jadi naik. Apalagi setelah acara makan selesai dan peralatannya dipinggirkan sehingga tengah ruang jadi luas. Ruang pun diredupkan lampunya. Kulihat Sari, Tini dan Menuk sudah mojok dengan masing-masing pasangannya. Tinggal aku sendirian disertai Mas Jono, Joni dan Didin.
Entah kapan bergeraknya, tahu-tahu Mas Jono sudah memelukku dari belakang.
“Nul, aku ingin menciummu,” desisnya di belakang telingaku membuatku merinding.
Tak sempat menolak lagi karena tubuhku jadi lemah. Syahwatku terangsang berat.
Tak menunggu lama tubuhku sudah dibaringkan di atas karpet, ditindihnya. Aku semakin tak berdaya ketika dua pasang tangan Mas Joni dan Didin melucutiku. Sebentar saja aku sudah mengalami seperti fim porno tadi. Ketiga lubangku dimasuki. Untung aku sudah pengalaman dengan keluarga Pak Anand sehingga hal semacam ini tidak mengejutkanku lagi. Malah mereka terheran-heran aku mampu mengimbangi permainannya.
Malam minggu itu kami terus bersetubuh berganti-ganti antara 4 cewek dan 6 cowok. Aku yang “barang” baru di tempat itu agaknya yang paling laris digilir. Entah setiap cowok sudah berapa kali menyemprotkan spermanya ke liang nikmatku atau mulutku. Mereka senang karena ternyata aku sangat berpengalaman dalam menelan, menggoyang dan mengocok penis mereka. Mereka seolah tak percaya bagaimana mungkin gadis desa lugu macam aku begitu piawai mengolah syahwat dan menjadi saluran pemuas nafsu.
Perzinahan kami terus berlangsung hingga minggu sore jam 5, berarti kegiatan seks kami berlangsung sekitar 20 jam nonstop. Gila kan!? Ini benar-benar pesta seks hebat yang pernah kualami. Ketika di keluarga Pak Anand pun aku paling lama hanya digilir 7-8 jam. Vaginaku sampai ngilu-ngilu, karena hampir tak pernah lepas disumpal zakar ke-6 cowok itu. Ke-3 cewek lain kulihat tak jauh beda denganku, semuanya leMas tergoler telanjang dengan kaki ngangkang. Cairan sperma dan mani melumuri kepala hingga kaki kami. Mungkinkah mereka jadi lebih bersemangat karena kehadiranku? Sehingga tanpa obat perangsang pun kami tetap memiliki nafsu yang bergelora.
Setelah peristiwa itu, setiap malam kamarku pasti diketuk salah seorang cowok penghuni untuk minta jatah menikmati tubuhku. Aku tak kuasa menolak karena agaknya akupun butuh penyaluran libido. Pengalaman dengan Pak S dan keluarga Anand telah membangkitkan nafsu hewaniku yang menuntut pemuasan terus menerus setiap hari. Sehari lubang memekku tak dimasuki penis aku bakal belingsatan semalaman.
Namun niatku cari kerja tak padam hingga suatu hari aku ditawari kerja untuk, lagi-lagi, jadi prt di sebuah rumah besar. Dengan berat hati aku pamit kepada teman-teman kostku dengan janji sekali waktu akan datang ke situ. Bayangkan, seorang prt seperti aku berteman dengan para pegawai berdasi macam mereka. Hanya karena sama-sama membutuhan seks kami jadi berteman!
Rumah besar milik majikanku ternyata memiliki 20 kamar untuk kost-kostan cowok. Tugasku membersihkan rumah dan kamar-kamar kost. Sedang untuk tugas mencuci dan menyetrika sudah ada sendiri tapi dia kalau sore hari pulang karena rumahnya tak jauh. Aku juga kadang diberi uang oleh anak-anak kost untuk memasak makan siang atau malam buat mereka. Biasanya sekitar 5 anak patungan uang belanja, biasanya sisa uang belanja diberikan padaku. Lumayan untuk menambah gajiku yang hanya 200 ribu sebulan.
Pagi hari setelah sebagian besar kuliah atau kerja aku membersihkan kamar-kamar mereka. Selama membersihkan sering aku melihat betapa berantakannya kamar cowok. Bungkus makanan atau abu rokok bertebaran di lantai, pakaian bahkan CD juga dilempar begitu saja. Yang membuatku terbelalak suatu hari aku melihat majalah-majalah porno tersebar di lantai kamar. Disampingnya ada kondom bekas pakai yang masih berisi sperma! Gila benar tuh anak, masak onani aja pakai kondom. Giliranku membersihkan harus rapat-rapat menyembunyikan benda-benda antik itu. Jangan sampai ketahuan yang punya kost.
“Nul, kamu tahu majalah yang di bawah ranjangku?” tanya Bimo suatu sore sepulang kerja dari kamarnya.
“Aa. ada, saya taruh di atas lemari, mas,” jawabku sambil nunduk di pintu kamarnya karena ingat majalah yang dimaksud adalah majalah porno.
“Kamu tentu ikut lihat ya, Nul?” bisiknya lanjut.
“Ng.. ng.. cuma sebentar kok mas, abis saya kira majalah apa gitu.”
“Sini, Nul,” tangannya menarik tanganku lalu menutup pintu kamar.
“Ada apa, mas?” tanyaku bingung. Tapi mendadak ia sudah memeluk dan mencium bibirku dengan ganas. Tubuhku langsung ditelentangkan ke ranjangnya dan ditelungkupinya. Aku jadi gelagapan karena tak siap. Kudorong dadanya.
“Ja. jangan, mas!” teriakku. Tapi himpitannya tambah kuat.
“Aku mau main sama kamu seperti majalah itu, Nul. Berapapun aku bayar!” katanya memaksaku sambil meremas-reMas tetekku dan berusaha membuka kancing bajuku.
“Aak.. aaku. jangan, mas. nggak mau.” protesku lagi sambil terus memberontak.
“Alaa. gak usah nolak Nul, aku tahu kamu udah nggak perawan kan? Kamu suka main seks rame-rame waktu di kostnya si Jono kan?”
Deg, ternyata dia kenal Mas Jono dan Mas Jono ternyata sudah cerita kegiatan seks kami yang semestinya rahasia itu. Sial benar dia. Aku terhenyak dan perlawananku jadi kendor dan Bimo dengan leluasa memreteli pakaianku higga bugil gil! Sejurus kemudian memekku sudah dipompanya dengan gembira. Zakarnya yang lumayan besar keluar masuk dengan leluasa karena milikku pun sudah agak longgar akibat seringnya kupakai mengejar nikmat.
Aku tak melawan lagi, toh rahasiaku sudah diketahui. Dan, terus terang, sudah beberapa lama ini aku butuh seks! Hampir setengah jam Bimo menggenjotku sampai akhirnya tubuhnya terkejang-kejang dan terasa spermanya nyemprot masuk ke rahimku. Untuk pencegahan kehamilan selama ini aku memang sudah rutin minum pil kb sesuai anjuran teman kostku dulu. Kubiarkan tubuh Bimo menggelepar di atasku.
“Sudah, mas?” bisikku dengan nafas agak tersengal-sengal telentang.
“Heeh. tapi nanti malam lagi ya, Nul? Kutunggu kamu jam 11 malam,” pintanya sambil mencabut penisnya yang telah mengkerut.
“Ini buat kamu,” ia menggenggamkan 50 ribuan ke tanganku. Kubiarkan tangannya meremasi susuku. Setelah ia berhenti, aku bangkit dan mengenakan pakaian. Bimo membuka pintu sedikit lalu kepalanya tengok kanan-kiri. Setelah dirasa aman ia menyuruhku cepat-cepat keluar kamarnya.
Setelah mandi aku kembali bekerja seperti biasa sampai sekitar jam 9 malam seusai mencuci bekas makan anak-anak kost. Kumasuki kamarku sambil menimbang-nimbang apakah nanti malam aku akan masuk ke kamar Bimo atau tidak. Terasa memekku berdenyut kalau ingat aku tadi belum sempat orgasme. “Apakah aku akan memuaskan syahwatku atau tidak?” pikirku sampai ketiduran di dipanku yang berkasur busa.
Entah berapa lama aku ketiduran, tiba-tiba terasa tubuhku ditindih seseorang. Lampu kamarku dimatikan sehingga aku tak bisa melihat siapa yang sedang berusaha memperkosaku. Dasterku sudah tersingkap ke atas dan tangannya sekarang tengah menggerayangi memekku dan melepas CD-ku.
“Ufh, jangan mas!” tolakku sambil meronta-ronta.
Sialnya pada saat bersamaan aku juga merasakan kenikmatan ketika memekku diremas.
“Diam, Nul. Aku Bimo,” bisiknya.
Akupun diam setelah tahu dan membiarkan ia mulai mengelupas seluruh penutup tubuhku. Dia sendiri ternyata sudah bugil lebih dulu dan sebentar saja zakarnya sudah amblas ke memekku. Aku pun melayaninya dengan senang. Anehnya tak sampai 15 menit ia sudah mengejang dan spermanya keluar. Langsung mencabut penisnya dan buru-buru keluar kamarku. Namun tak lama masuk kamar lagi dan seolah mendapat tenaga baru ia kembali memompaku dengan semangat.
Berat badannya juga agak lebih berat dari Bimo tadi. Tapi aku kembali terlena dan melayaniya dengan goyangku yang lebih hot. Namun lagi-lagi tak sampai 15 menit Bino sudah keluar sperma lagi. Tanpa bicara ia langsung menggelosor turun lalu keluar kamar. Tak sampai dua menit masuk kamarku lagi lalu Bimo dengan tenaga baru memasuki dan menunggangiku lagi.
“Kamu siapa?” aku mulai curiga.
“Stt. diam, aku Bimo,” bisiknya dengan suara beda dari yang tadi.
Kecurigaanku makin besar namun aku tak berdaya karena tindihan dan genjotannya sedang menggempurku. Kusimpan kecurigaanku sampai ia melenguh dan terkejang-kejang lagi. Lalu, ketika ia keluar kamar, segera kuikuti dan ketik pintu kamar terbuka, kagetlah aku karena di depan kamarku sudah berkumpul seluruh penghuni kost dengan tubuh telanjang!
Rupanya mereka menyamar sebagai Bimo dan secara bergantian memasuki kamarku untuk menikmati tubuhku! Gila! Aku hendak berteriak, namun tangan salah seorang telah membekap mulutku. Yang lain mendorong pintu hingga mereka semua sekarang masuk ke kamarku. Sementara yang membekapku terus mendorongku sampai ke dipan dan kembali menaiki dan memompaku. Tak berdaya akhirnya aku harus melayani ke-20 orang cowok itu. Kuakui selama itupun aku sempat orgasme sampai berkali-kali.
“Maafkan aku, Nul, mereka ternyata tahu apa yang kita perbuat tadi,” kata Bimo sewaktu mendapat gilirannya.
“Dan mereka minta jatahnya daripada melaporkan perbuatan kita ke polisi.”
Mendengar kata ‘polisi’ aku semakin takut dan pilih diam menikmati pemerkosaan rame-rame itu. Memek dan mulutku sampai seperti mati rasa setelah masing-masing memperoleh gilirannya yang ke-2 atau ke-3. Berliter-liter sperma memasuki memek dan mulutku serta memandikan tubuhku yang sudah leMas loyo lunglai. Bayangkan kalau setiap cowok sampai 3 kali saja menyetubuhiku dan masing-masing 15 menit, berarti aku telah digarap mereka selama 20 orang x 3 x 15 menit = 900 menit alias 15 jam tanpa henti! Sewaktu di kost dulu aku melayani 6 cowok dibantu 3 cewek lain, tapi sekarang aku sendirian diperkosa rame-rame oleh 20 cowok. Edan tenan!
“Sudah, mas. Kasihani saya, mas. bisa mati kalau saya nggak istirahat dulu,” kataku lemah kepada yang terakhir menyebadaniku. Rupanya mereka pun kasihan dan membantuku membersihkan diri. Mas Bimo menggendongku ke kamar mandi dan memandikan serta menyabuniku dengan prihatin.
“Maafkan aku ya, Nul..” desisnya di telingaku sambil menyabuni punggung. Aku diam saja. Kami duduk di atas kloset tertutup. Ia di belakangku juga telanjang. Disabuninya dadaku, perut lalu diremasinya tetekku lagi seolah tak ada puasnya menikmati tubuhku. Dengan tubuh lemah kurasakan tubuhku diangkat lalu didudukkan lagi dengan zakarnya sudah menancap dalam di memekku. Yah, Bimo memanfaatkan saat menyabuniku itu untuk melepas syahwatnya lagi. Cowok seusia 25-an memang bisa berkali-kali ejakulasi. Sialnya (atau malah untungnya?) aku yang harus menerima hasratnya itu.
Siang itu aku dibiarkan istirahat total oleh anak-anak kost, tetapi malam harinya lagi-lagi perkosaan rame-rame mereka lakukan. Beruntung mereka tidak menikmati tubuhku secara gratisan. Mereka membayarku, ada yang 20 ribu ada juga yang 50 ribu semalam. Karena itulah sampai saat ini aku tetap betah bekerja di kost itu meski gajiku kecil tapi “sabetan”ku besar. Dan yang penting nafsu seksku yang sekarang selalu meledak-ledak dan menuntut pemuasan setiap saat bisa terpenuhi. Penghasilanku pun besar.
Bayangkan kalau paling sedikit 5 anak kost menggilirku setiap hari (entah pagi, siang atau malam hari) dan memberiku 30 ribu rupiah, hitung saja penghasilanku sebulan. Mereka pun maklum kalau aku jadi kurang memperhatikan kebersihan kamar mereka karena sekarang aku lebih sering telentang ngangkang di kamarku sendiri atau di kamar mereka. Demi kesehatan, aku tak lupa sebulan sekali memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan dan kelamin. Hubungan seks sudah jadi kebutuhan dan makananku sehari-hari. Siapa yang membuatku jadi begini? Salah siapa? Dosa siapa? Diriku? Atau semua orang yang telah memperkosaku?!
Sampai di sini trilogi kisah pemerkosaan atas diriku. Aku semakin bingung karena yang semula kuanggap pemerkosaan atas diriku sekarang sudah berganti jadi kebutuhan dan kenikmatan. Tapi apakah ini namanya masih “pemerkosaan” kalau aku sendiri juga menikmatinya?