“Sebentar Mbak. Saya bawa masuk dulu kain ini”, kataku sembari membantunya memegang kain yang berada di tangan Mbak Narti. Aku bergegas masuk ke dalam rumah. Kain jemuran kuletakkan di atas kasur, di kamar Mbak Narti. Ketika aku menghampiri Mbak Narti lagi, dia sudah separuh berdiri dan mencoba berjalan terhuyung-huyung. Hujan semakin lebat seakan dicurahkan semuanya dari langit.
Aku menuntun Mbak Narti masuk ke kamarnya dan mendudukkan di kursi. Dadaku berdetak kencang ketika tanganku tersentuh buah dada Mbak Narti. Terasa kenyal sehingga membuat darah mudaku tersirap naik. Kuakui walau dalam umur awal 30-an ini Mbak Narti tidak kalah menariknya jika dibandingkan dengan kakak iparku yang berusia 25 tahun. Kulitnya kuning langsat dengan potongan badannya yang masih menarik perhatian lelaki. Tidak heran, pernah Mbak Narti kepergok oleh abangku bermesraan dengan laki-laki lain.
“Tolong ambilkan Mbak handuk”, pinta Mbak Narti ketika aku masih termangu-mangu.Aku menuju ke lemari pakaian lalu mengeluarkan handuk dan kuberikan kepadanya. “Terima kasih Den Diko”, katanya dan aku cuma mengangguk-angguk saja.
Kasihan Mbak Narti, dia adalah wanita yang paling lemah lembut. Suaranya halus dan lembut. Bibirnya senantiasa terukir senyum, walaupun dia tidak tersenyum. Rajin dan tidak pernah sombong atau membantah. Dianggapnya rumah abangku seperti rumah keluarganya sendiri. Tak pernah ada yang menyuruhnya karena dia tahu tanggung jawabnya.
Kadang-kadang saya memberinya sedikit uang, bila saya datang ke sana. Bukan karena apa, sebab dia mempunyai sifat yang bisa membuat orang sayang kepadanya. Abangku tidak pernah memarahinya. Gajinya setiap bulan disimpan di bank. Pakaiannya dibelikan oleh kakak iparku hampir setiap bulan. Memang dia cantik, dan tak tahu apa sebabnya hingga suaminya menceraikannya. Kabarnya dia benci karena suaminya selingkuh. Hampir kurang lebih 4 tahun lebih dia menjanda setelah menikah hanya 6 bulan. Sekarang dia baru berusia 29 tahun, masih muda.
Kalau masalah kecantikan, memang kulitnya putih. Dia keturunan Cina. Rambutnya mengurai lurus hingga ke pinggang. Dibandingkan dengan kakak iparku, masing-masing ada kelebihannya. Kelebihan Mbak Narti ialah sikapnya kepada semua orang. Budi bahasanya halus dan sopan.
Mbak Narti berdiri lalu mencoba berjalan menuju ke kamar mandi. Melihat keadaannya masih terhuyung-huyung, dengan cepat kupegang tangannya untuk membantu. Sebelah tanganku memegang pinggang Mbak Narti. Kutuntun menuju ke pintu kamar mandi. Terasa sayang untuk kulepaskan peganganku, sebelah lagi tanganku melekat di pinggangnya.
Mbak Narti menghadap ke diriku saat kutatap wajahnya. Mata kami saling bertatapan. Kulihat Mbak Narti sepertinya senang dan menyukai apa yang kulakukan. Tanganku jadi lebih berani mengusap-usap lengannya lalu ke dadanya. Kuusap dadanya yang kenyal menegang dengan puting yang mulai mengeras. Kudekatkan mulutku untuk mencium pipinya. Dia berpaling menyamping, lalu kutarik lagi pipinya. Mulut kamipun bertemu. Aku mencium bibirnya. Inilah pertama kalinya aku melakukannya kepada seorang wanita.
Erangan halus keluar dari mulut Mbak Narti. Ketika kedua tanganku meremas punggungnya dan lidahku mulai menjalari leher Mbak Narti. Ini semua akibat film BF dari CD-Rom yang sering kutonton dari rumah teman.
Mbak Narti bersandar ke dinding, tetapi tidak meronta. Sementara tanganku menyusup masuk ke dalam bajunya, mulut dan lidahnya kukecup. Kuhisap dan kugelitik langit-langit mulutnya. Kancing BH-nya kulepaskan. Tanganku bergerak bebas mengusap buah dadanya. Putingnya kupegang dengan lembut. Kami sama-sama hanyut dibuai kenikmatan walaupun kami masih berdiri bersandar di dinding.
Kami terangsang tak karuan. Nafas kami semakin memburu. Aku merasa tubuh Mbak Narti menyandar ke dadaku. Dia sepertinya pasrah. Baju daster Mbak Narti kubuka. Di dalam cahaya remang dan hujan lebat itu, kutatap wajahnya. Matanya terpejam. Daging kenyal yang selama ini terbungkus rapi menghiasi dadanya kuremas perlahan-lahan.
Cerita Seks Ngentot Pembantu Kakak – Bibirku mengecup puting buah dadanya secara perlahan. Kuhisap puting yang mengeras itu hingga memerah. Mbak Narti semakin gelisah dan nafasnya sudah tidak teratur lagi. Tangannya liar menarik-narik rambutku, sedangkan aku tenggelam di celah buah dadanya yang membusung. Mulutnya mendesah-desah, “Ssshh…, sshh!”.
Puting payudaranya yang merekah itu kujilat berulangkali sambil kugigit perlahan-lahan. Kulepaskan ikatan kain di pinggangnya. Lidahku kini bermain di pusar Mbak Narti, sambil tanganku mulai mengusap-usap pahanya. Ketika kulepaskan ikatan kainnya, tangan Mbak Narti semakin kuat menarik rambutku.
“Den Dikooo…, Den Diko”, suara Mbak Narti memanggilku perlahan. Aku terus melakukan usapanku. Nafasnya terengah-engah ketika celana dalamnya kutarik ke bawah. Tanganku mulai menyentuh daerah kemaluannya. Rambut halus di sekitar kemaluannya kuusap-usap perlahan.
Ketika lidahku baru menyentuh kemaluannya, Mbak Narti menarikku berdiri. Pandangan matanya terlihat sayu bagai menyatakan sesuatu. Pandangannya ditujukan ke tempat tidurnya. Aku segera mengerti maksud Mbak Narti seraya menuntun Mbak Narti menuju tempat tidur. Bau kemaluannya merangsang sekali. Dengan satu bau khas yang sukar diceritakan.
“Den Dikooo…”, bisiknya perlahan di telingaku. Aku terdiam sambil mengikuti apa yang kuinginkan. Mbak Narti sepertinya membiarkan saja. Kami benar-benar tenggelam. Mbak Narti kini kutelanjangkan. Tubuhnya berbaring telentang sambil kakinya menyentuh lantai. Seluruh tubuhnya cukup menggiurkan. Mukanya berpaling ke sebelah kiri. Matanya terpejam. Tangannya mendekap kain sprei. Buah dadanya membusung seperti minta disentuh.
Puting susunya terlihat berair karena liur hisapanku tadi. Perutnya mulus dan pusarnya cukup indah. Kulihat tidak ada lipatan dan lemak seperti perut wanita yang telah melahirkan. Memang Mbak Narti tidak memiliki anak karena dia bercerai setelah menikah 3 bulan. Kakinya merapat. Karena itu aku tidak dapat melihat seluruh kemaluannya. Cuma sekumpulan rambut yang lebat halus menghiasi bagian bawah.
Kemudian, tanganku terus membuka kancing bajuku satu-persatu. ritsluiting jeans-ku kuturunkan. Aku telanjang bulat di hadapan Mbak Narti. Penisku berdiri tegang melihat kecantikan sosok tubuh Mbak Narti. Buah dada yang membusung dihiasi puting kecil dan daerah di bulatan putingnya kemerah-merahan. Indah sekali kupandang di celah pahanya. Mbak Narti telentang kaku. Tidak bergerak. Cuma nafasnya saja turun naik.
Lalu akupun duduk di pinggir kasur sambil mendekap tubuh Mbak Narti. Sungguh lembut tubuh mungil Mbak Narti. Kupeluk dengan gemas sambil kulumat mesra bibir ranumnya. Tanganku meraba seluruh tubuhnya. Sambil memegang puting susunya, kuremas-remas buah dada yang kenyal itu. Kuusap-usap dan kuremas-remas. Nafsuku terangsang semakin hebat. Penisku menyentuh pinggang Mbak Narti. Kudekatkan penisku ke tangan Mbak Narti. Digenggamnya penisku erat-erat lalu diusap-usapnya.
Memang Mbak Narti tahu apa yang harus dilakukan. Maklumlah dia pernah menikah. Dibandingkan denganku, aku cuma tahu teori dengan melihat film BF, itu saja. Tanganku terus mengusap perutnya hingga ke celah selangkangannya. Terasa berlendir basah di kemaluannya.
Lalu dipegangnya penisku yang sudah tegang dan dimasukkannya ke dalam mulutnya. Mataku terpejam-pejam ketika lidah Mbak Narti melumat kepala penisku dengan lembut. Penisku dikulum sampai ke pangkalnya. Sukar untuk dibayangkan betapa nikmatnya diriku. Bibir Mbak Narti terasa menarik-narik batang penisku. Tidak tahan diperlakukan begitu aku lalu mengerang menahan nikmat.
Kubuka lebar-lebar paha Mbak Narti sambil mencari liang vaginanya. Kusibakkan vaginanya yang telah basah itu. Kujulurkan lidahku sambil memegang clitorisnya. Mbak Narti mendesah. Kujilat-jilat dengan lidahku. Kulumat dengan mulutku. Liang kemaluan Mbak Narti semakin memerah. Bau kemaluannya semakin kuat. Aku jadi semakin terangsang. Seketika kulihat air berwarna putih keluar dari lubang vaginanya. Tentu Mbak Narti sudah cukup terangsang, pikirku.
Tubuh kami berhadapan. Tangannya menarik tubuhku untuk rebah bersama. Buah dadanya tertindih oleh dadaku. Mbak Narti memperbaiki posisinya ketika tanganku mencoba mengusap-usap pangkal pahanya. Kedua Kaki Mbak Narti mulai membuka sedikit ketika jariku menyentuh kemaluannya. Lidahku mulai turun ke dadanya. Putingnya kuhisap sedikit kasar. Punggung Mbak Narti terangkat-angkat ketika lidahku mengitari perutnya.
Akhirnya jilatanku sampai ke celah pahanya. Mbak Narti semakin membuka pahanya ketika aku menjilat clitorisnya, kulihat Mbak Narti sudah tidak bergerak lagi. Kakinya kadang-kadang menjepit kepalaku sedangkan lidahku sibuk mencari tempat-tempat yang bisa mendatangkan kenikmatan baginya.
Erangan Mbak Narti semakin kuat dan nafasnya pun yang terus mendesah. Rambutku di tarik-tariknya dengan mata terpejam menahan kenikmatan. Aku bertanya, “Gimana Mbak rasanya?”, suaraku lembut dan sedikit manja. Dia tidak menjawab. Dia hanya membuka matanya sedikit sambil menarik napas panjang. Aku mengerti. Itu bertanda dia setuju. Tanpa disuruh, aku mengarahkan penisku ke arah lubang vaginanya yang kini telah terbuka lebar. Lendir dan liurku telah banjir di gerbang vaginanya.