Cerita hot Suster sangek lagi horni selalu punya keinginan ngentot setiap melihat laki laki di dekatnya bikin merangsang setiap yang memandang – Aqu, Wawan, adalah seorang dokter yg beberapa tahun yg lalu pernah bekerja di puskesmas kecil disuatu kecamatan di Jawa beberapa kilometer dari kota S.
Ketika bekerja menjadi dokter puskesmas itu lah aqu terlibat perselingkuhan dgn suster anak buahku sendiri di puskesmas itu. Saat itu aqu masih muda (sekitar 27 tahun), kata orang parasku cakep dan macho, sedang susterku itu hitam cantik terpaut sekitar 5 tahun lebih muda dariku. Aqu sendiri saat itu sudah berkeluarga beranak satu berumur 2 tahun, demikian pula susterku yg bernama Ningsih sudah bersuami namun belom punya momongan.
Pada saat pertama kali datang melihat puskesmas tempat aqu akan bertugas selama 5 tahun yg terletak di suatu kecamatan yg lumayan jauh dari kota kabupaten, aqu datang sendirian. Di sana aqu ditemui oleh seorang suster wanita yg sudah bekerja di sana selama tiga tahun semenjak puskesmas itu selesai dibangun.
“Ningsih”, begitu dia memperkenalkan diri sambil menyodorkan tangannya. Dalem hatiku, “Aduh, cantik betul suster ini”.
Sambil bertanya tentang berbagai hal, yg menygkut kunjungan pasien, tentang pelaksanaan program kesehatan yg selama ini dikerjakan olehnya (selama ini puskesmas dipimpin olehnya yg merupakan satu-satunya suster dgn dibantu oleh 2 orang petugas lain), tentang keadaan masyarakat sekitar puskesmas, dll, aqu tak puas-puasnya memandangi parasnya yg cantik itu. Sebaliknya, si cantik ini juga sering dgn berani menatapku balik sambil senyum agak menantang. Pikirku, “Gawat juga anak ini”, kelihatannya dia sangat tertarik secara seksual padaqu.
Dia cerita kalau sudah menikah selama 2 tahun dan belom berhasil hamil juga. Aqu bilang dgn sedikit menggoda: “Wah, jangan-jangan suamimu kurang hebat caranya. Kapan-kapan saya ajari ya”.
“Ya dok, tapi jangan suami saya saja yg diajari, saya juga dong”, ujarnya.
Beberapa minggu kemudian, aqu benar-benar sudah bertugas di puskesmas ini. Aqu tinggal di rumah tugas di samping kantor yg masih satu kompleks dgn puskesmas, demikian pula Ningsih tinggal di rumah tugas pada kompleks yg sama namun di sisi lainnya. Istriku dari pagi sampai menjelang sore pergi ke kota S untuk bekerja. Jadi sesiangan rumahku nyaris kosong.
Pada hari pertama, aqu mengajak Ningsih berboncengan memakai motor ke desa-desa tempat wilayah kerjaqu untuk orientasi dan berkenalan dgn beberapa kepala desa yg kebetulan dilewati.
Perjalanan melalui jalan yg sebagian besar masih berupa tanah yg dikeraskan, dan di beberapa tempat berupa batu “makadam” yg bergelombang. Tangan Ningsih yg kubonceng di belakangku berkali-kali memegang paha atau pinggangku karena taqut terjatuh. Aqu senang bukan main sambil berdebar. Berkali-kali pula payudaranya yg tidak terlalu besar namun kenyal itu menyenggol di punggungku. Rupanya dia juga tak sungkan-sungkan untuk menempelkannya. Melihat sikapnya yg seperti itu, aqu meramal bahwa Ningsih suatu saat pasti bisa kuajak bergelut bugil di tempat tidur.
Badan Ningsih cukupan, tingginya sekitar 160 cm, badannya langsing, kakinya mempunyai rambut- rambut yg cukup merangsang laki laki, walau pun kulitnya sedikit gelap. Parasnya cantik mirip Tony Braxton, si penyanyi negro itu. Payudara tidak besar, yah kira-kira setangkupan telapak tanganku. Itu pun kukira-kira saja, karena di saat tugas badannya di balut seragam tugas Pemda. Rambutnya sebahu. Yg jelas, parasnya cantik, seksi dan senyumnya menggoda.
Dalem perjalanan berboncengan Ningsih menceritakan perjalanan hidupnya sejak lulus sekolah dan langsung ditempatkan di puskesmas ini. Di sini mula-mula dia tinggal bersama adik perempuannya yg sekolahnya dibiayainya. Dia sempat berpacaran dgn seorang pemuda yg tinggal di depan rumah tugasnya, namun akhirnya justru tetangga lainnya yg memintanya untuk dijadikan menantu. Akhirnya permintaan belakangan itulah yg dipenuhinya sehingga Ningsih dinikahi oleh seorang pemuda putra seorang tokoh masyarakat desa (tetangga dekat tadi) dan cukup berada, tanpa melalui proses pacaran.
Ningsih rupanya selama itu menjadi “bunga” di desa tempat puskesmas berada. Dia menjadi inceran banyak pemuda desa situ, juga orangtua-orangtua yg menginginkannya menjadi menantunya.
Tanpa sengaja, ketika Ningsih sedang asyik bercerita, motor saya melawati lubang yg cukup membuat motor bergoyg keras, dan bibir Ningsih sempat menempel di leherku bagian belakang (aqu sedikit geli, namun tentu senang dong) dan krah bajuku terkena warna merah lipstiknya. Dia segera membersihkan krah tersebut, kawatir dicurigai istriku macam-macam. Tapi aqu tenang saja, bahkan aqu bilang: “Nggak apa-apa koq, ditempeli sekali lagi juga nggak apa-apa, apalagi kalau nggak cuma di krah baju”. “Ih, pak Wawan macam-macam …, nanti dimarahi ibu lho.”, katanya agak genit.
Beberapa minggu kemudian nggak ada kejadian istimewa, sampai suatu hari Ningsih sakit diare dan nggak bisa masuk kantor. Pembantunya menyusul ke puskesmas, dititipi pesan agar kalau saya sudah tidak terlalu sibuk bisa menengok dirinya, mungkin bisa memberi advis mengenai pengobatannya.
Sesudah pasien sepi dan tak ada pekerjaan kantor yg berarti, aqu menjenguknya ke rumahnya, dan diminta masuk kamar tidurnya. Saat itu suaminya nggak ada di rumah, karena sehari-hari suaminya bekerja di suatu pabrik di kecamatan sebelah. Aqu melihat dia berbaring di ranjang, walau pun sedang sakit, namun kulihat paras dan badannya justru makin merangsang dibalut baju tidur yg cukup seksi.
Kawatir aqu nggak bisa menahan diri di kamarnya, aqu segera minta padanya, kalau masih bisa jalan (aqu lihat sakitnya biasa saja), untuk pergi ke rumahku sesudah jam kantor minta diantar pembantu. Toh, jaraknya cukup dekat. Sementara itu dia kuberi obat seperlunya.
Sepulang kantor, Ningsih datang ke rumah diantar pembantu, kemudian pembantunya disuruhnya pulang duluan, sehingga aqu dan dia tinggal sendirian di rumahku. Pembantuku (suami-istri) kalau siang seusai bekerja pulang ke rumahnya dan petangnya kembali lagi, karena mereka adalah penduduk desa setempat.
Ningsih kusuruh masuk ke kamar periksa, kemudian kuminta berbaring di tempat tidur periksa. Aqu memasang stetoskop, dan kuminta dia untuk membuka sebagian kancing atasnya (Ningsih memakai pakaian rok dan kemeja blues yg dikeluarkan). Aqu mula-mula serius memeriksa dadanya dgn stetoskop, namun begitu melihat sembulan buahdadanya yg nggak besar di balik BREAST HOULDERnya, aqu tiba-tiba berdebar dan bergetar. Aqu nggak pernah bergetar bila memeriksa pasien wanita lain, namun menghadapi Ningsih koq lain.
Dgn spontan tanpa meminta ijin dari empunya, buahdadanya kuraba halus dari luar dan kuelus-elus. Ningsih tak membuat gerakan penolakan, matanya justru terpejam sekan menikmati. Seluruh kancing bluesnya langsung kucopoti, sehingga BREAST HOULDER Ningsih itu terlihat bebas menantang.
Bibirnya kukulum dgn cepat, sambil tanganku masih mengelus-elus buahdadanya dari luar BREAST HOULDER nya yg belom kulepas. Seperti yg sudah kuduga, kuluman bibirku disambutnya dgn ciumannya yg lembut tapi hebat. Lidahku kujulurkan dalem-dalem ke langit-langit mulutnya, sebaliknya lidahnya segera
membalas dgn memilin lidahku. Aqu melihat Ningsih terengah-engah menahan emosinya, sambil mengerang: “Ssssh, pak Wawan, pak, ah … argghhh … ssshhh”.
Tanpa menunggu lama, sambil Ningsih masih tetap terbaring dan mulutnya masih kubungkam dgn bibirku, cup BREAST HOULDER nya kuangkat ke atas tanpa kucopot kancingnya terlebih dulu. Susunya langsung tersembul keluar dgn indahnya. Benar dugaanku susunya tak besar, namun bagus dan kencang dgn puting susu kemerahan yg tak terlalu menonjol. Itulah susu Ningsih yg sudah kubaygkan beberapa lama dan ingin kukulum. Itulah sepasang payudara Ningsih yg masih kenyal belom sempat mengeluarkan ASI karena belom sempat hamil.
Tangan kananku segera meraba-raba pentilnya bergantian kanan dan kiri dgn gerakan memutar yg halus. Ningsih makin menggigil dan tambah mengerang: “Paaak, Ningsih malu paak … ssshhh aargghhh … ssshh …”. Aqu terus menjilati bibir dan parasnya sambil berdiri, dan tanganku memijat-mijat susunya yg ranum. Tangan Ningsih merangkul leherku, matanya berkejap-kejap, sambil mulutnya terus mendesah di tengah-tengah kuluman lidahku.
Sesudah puas menjilati paras dan bibirnya, mulutku beralih ke leher dan belakang telinganya. Dia makin menggelinjang sambil setengah menegakkan kepalanya. Aqu masih terus berdiri, stetoskopku sudah kulempar jauh-jauh. Segera kemudian, mulutku sudah berada di puting susu kirinya. Aqu jilat sepuasnya. Dada Ningsih menggeliat dan sekali-kali membusung, sehingga susunya makin terlihat indah dan menggairahkan. Desisan Ningsih makin menghebat, “Aaarggghhh, paaaak, aqu nggak tahan paaak …”. Tanganku pelan-pelan menelusuri pahanya yg mulus walau pun berkulit agak sedikit gelap. Tapi warna kulit seperti ini justru sangat merangsang diriku. kemaluan di balik celanaqu sudah menegang sejak tadi ketika aqu mulai pertama kali melihat BREAST HOULDER nya. Aqu mulai menelusuri pahanya pelan-pelan ke atas menuju selangkangannya di balik rok yg masih dipakainya, sambil aqu masih terus menggelomohi kedua puting susunya. Kulirik paras cantik susterku ini. Ah, betapa makin merangsangnya tampakan parasnya, yg sambil sedikit merem-melek matanya menahan nafsu birahi, mulutnya mendesis mengerang terus menerus walau pun tidak dgn suara yg keras, “Aaarghh, paakk, aqu … aqu nggak tahan lagi paak.”
Namun, begitu tanganku sampai di pinggir celana dalemnya, tiba-tiba dia tersadar dan langsung bilang, “Ah, pak, jangan sekarang pak ..”. Aqu agak kaget, “Mengapa Sih? Aqu sudah nggak tahan Sih, kepingin menelanjangi kamu.” Ningsih menjawab: “Kapan-kapan pak untuk yg itu.”.
Aqu tak berani nekat meneruskan, tapi paras, bibir, dan susunya masih terus kujilati bergantian.
Aqu berciuman seperti itu sambil pakaianku masih lengkap dan masih tetap berdiri, sedang Ningsih sudah setengah bugil sambil tetap tergolek di ruang periksa, kurang lebih setengah jam. Akhirnya, karena aqu kawatir kalau istriku datang dari kantor, maka perbuatan kita yg sudah kerasukan nafsu birahi yg menggelegak itu kuhentikan, dan Ningsih kusuruh berpakaian kembali dan kuminta segera pulang. Aqu sempat berciuman sekali lagi. Mesra, seperti sepasang kekasih yg baru dilanda asmara.
Beberapa hari kemudian, sesudah kantor tutup, Ningsih yg sudah sembuh dari diarenya, kuminta datang ke rumah. Dia datang masih memakai seragam tugas. Demikian pula aqu.
Kusuruh dia duduk di sampingku di sofa ruang tamu. Ruang tamuku tetap kubiarkan terbuka pintunya, toh aqu tetap bisa mengontrol situasi luar rumah dari kaca besar berkorden dari dalem. Orang luar tak bisa melihat ke dalem, karena pencahayaan dari luar jauh lebih terang.
Melihat situasi luar yg cukup aman, dan saat itu di rumah tugasku hanya ada aqu dan Ningsih, maka kuberanikan mencoba melanjutkan apa yg sudah kumulai beberapa hari sebelomnya.
Ningsih yg berada di samping kananku langsung kupeluk mesra, kuelus rambutnya dan kucium bibirnya dgn rasa sayg. Namun tanpa kuduga, dgn ganas (Ningsih sepintas kuperkirakan adalah wanita yg hiperseks, dan di kemudian hari dia memang mengaquinya kalau dia nggak pernah puas ketika berhubungan seksual dgn suaminya, walau pun menurut ukurannya suaminya mempunyai kemampuan seksual yg sangat hebat), dia menyambut ciumanku dgn jilatan-jilatan lidahnya yg selangkanganku yg tertutup celana tugas dan meraba kemaluanku yg sudah menegang ketika mulai berciuman tadi. Kemaluanku dikocoknya dari luar dgn trampil dan membuatku keenakan (jujur saja, istriku tidak bisa seperti itu).
Secara cepat dan trengginas, karena nafsu yg sudah berkobar-kobar, aqu pun langsung membuka kancing seragam atasnya, dan dgn lahap kukeluarkan seluruh payudaranya yg ranum dari cup BREAST HOULDER tanpa membuka kancing yg terletak di belakangnya. Susunya langsung kuremas dgn lembut, pentilnya yg imut kupilin-pilin sampai menegang, dan aqu terus menciumi bibir dan kadang menciumi paras dan belakang telinganya. Ningsih meregang, dan kali ini dia memanggilku tidak lagi pak atau dok, namun sudah berubah menjadi `papa?, “Ehmmpph, sshh … paaaaaah, aqu sayg kamu paaah, Ningsih sayg papaaah … aaarghh
Aqu pun berganti menjawab sekenanya dan seberaninya, “Aqu juga sayg Ningsih, bener aqu sayg kamu, hari ini aqu ingin memasukkan kemaluanku ke badanmu, sayg, boleh?”
Ningsih langsung menjawab, “Boleh yaaaang, boleh … arrghhh … sshhshh … cepatan ya yaaaang … aaaargrhhh ….”.
Mendengar jawaban itu, tanpa ragu, aqu segera memasukkan jari kedua tanganku ke selangkangannya yg masih tertutup seragam tugas, dan dgn bernafsu kucari celana dalemnya, dan begitu ketemu, tanpa ba-bi-bu lagi langsung kupelorot dan kusimpan di saqu celanaqu. Demikian pula Ningsih, dgn terengah-engah, langsung dia membuka resleting celanaqu dgn sebelomnya melepaskan ikat pinggangku yg kemudian dia lempar jauh-jauh, dan tangannya dgn cepat menyergap kemaluanku yg berukuran panjang 14 cm dgn diameter yg cukup besar. Aqu ikut memelorotkan celanaqu walau pun nggak sampai kulepas sama sekali. Tangannya dgn cekatan mengelus kemaluanku, mengocoknya, sembari badannya menggelinjang karena jariku sudah mengelus kemaluan kemaluannya yg basah. Sebagian jariku pelan-pelan kumasukkan ke dalem lubang kemaluannya, dan kugeser-geser melingkari lubang sempit itu. Jempolku mencari kelentitnya, begitu ketemu kuelus dgn permukaan dalem jempol.
“Ah, paaah, aqu nggak tahan paaah … aggghhh, ….. paaaah …..eeennaaak paaah …”, dia mengerang setengah berteriak, namun mulutnya segera kubungkam dgn mulutku, kukulum agar suaranya tidak terdengar oleh orang-orang yg mungkin ada di luar, kemudian kujilati bibir dan seluruh permukaan parasnya sampai basah terkena ludahku.
Sambil setengah bergumul, mataqu selalu waspada melihat keadaan luar rumah melalui kaca berkorden untuk berjaga-jaga kalau-kalau ada orang yg mau masuk ke rumah. Karena situasi yg tidak terlalu aman itu, aqu tidak berani melaqukan adegan birahi kita ini dgn berbugil total..
Tanpa menunggu lama lagi, karena darah birahi yg sudah sampai ke ubun-ubun, badan Ningsih kutarik ke depan badanku, sambil dia tetap duduk menghadap ke depan membelakangiku, dan aqu bersandar setengah duduk di sofa, dgn perlahan tapi pasti, rok bawahannya kusingkap dan kuangkat, bokongnya kupegang, selangkangannya yg sudah tak bercelana dalem kurenggangkan lebar-lebar, pahaqu kurapatkan dgn kemaluan yg mengacung ke atas, kemudian tangan kiriku memegang kemaluan dan kubimbing masukkan ke kemaluan (memek)-nya. Ningsih ikut membantu memegang kemaluanku dgn tangan kanannya, dan perlahan-lahan bokongnya diturunkan ke bawah. Kemaluannya terasa sempit juga (mungkin karena belom pernah melahirkan bayi), namun berkat bantuan lendir kemaluannya yg sudah banyak, tanpa kesulitan yg cukup berarti kemaluanku akhirnya berhasil masuk juga ke sebagian kemaluan depannya. Ningsih sambil menghadap ke depan terus mengerang, bokongnya mulai bergoyg-goyg, dinaik turunkan, agar kemaluanku bisa lebih masuk ke dalem.
“Aduuuh paaaaah, enaaak paaaah …. Ssshhh … arggh , aaduuuh paaah …”, erangnya. Aqu juga mulai mendesis merasakan enaknya kemaluan susterku yg sangat cantik dan hot ini, sambil benakku berseliweran membaygkan keberanianku menyebadani istri orang. Ah, persetan, salahnya punya istri cantik disia-siakan, sehingga masih mencari memek atasannya. Betul-betul kemaluan yg nikmat, nggak salah aqu ditempatkan di puskesmas ini, aqu bisa menikmati sepuasnya kemaluan Ningsih yg sedap. Kepunyaan istriku sendiri tidak senikmat ini.
“Narsiiih, kamu memang enaak, Ningsih …” begitu desisku.
Sambil aqu juga ikut menggerakkan bokongku naik turun seirama dgn naik turunnya bokong Ningsih, aqu mengocok kelentit Ningsih yg ada di depan dgn tangan kananku. Tangan kiriku terus meraba habis susunya yg terasa kenyal di depan. Ningsih makin menggelinjang seperti cacing kepanasan, karena kocokan jariku pada kelentitnya yg makin menonjol. Bokongnya makin dia goygkan selain naik turun juga ke kanan kiri. Rasanya bukan main enak, tak terkirakan. Beginilah rupanya rasa kemaluan Ningsihku, Ningsihku yg bisa menggantikan tugas istriku di siang hari, Ningsihku yg mempunyai gerakan badan yg hebat dan nikmat.
“Siiiih, kamu sayg papa beneran nggak, aqu eeennnaaaak Siiih ….!”
“Aaaaduuuh paaaah, Ningsih sayg paapaaaah, eennaaak juga aqu paaaah, koq bisa enaaak gini ya paaaah? Aaaargghhhh ….. ssshh … arrrgggghhhhhhhhhhhhhhhh …. Paaaaah …”
Aqu makin cepatkan kocokanku naik turun, demikian pula Ningsih, dia makin menggeliatkan badannya ke sana kemari. Sayg, aqu nggak bisa melihat badan indahnya sambil berbugil, karena situasinya yg tak memungkinkan.
Tiba-tiba Ningsih, setengah berteriak bergetar-getar badannya, “Aaarghhh … paaah, aqu nggak tahaaan paaaah, aqu mau orgasme paaaaah, paaaaah …”. Aqu sendiri hampir nggak tahan juga merasakan denyutan kemaluannya yg asyik. Sekali lagi, betul-betul kemaluan yg enak dan nikmat
“Nggak apa-apa Siiih, kalau mau orgasme, nggak usah ditahan Siiih, papa juga mau keluar, aarghhh …”.
Gerakan kemaluanku makin kupercepat walau pun tidak terlalu bebas, karena posisiku yg di bawah, sambil tanganku mengocok susu dan bibir Ningsih kucari dan kumasukkan jempolku ke mulutnya dan segera diempotnya seperti bayi sambil terus mendesah. Tak lama kemudian, Ningsih mengejang, “Arrrggghhhhh paaaaaaaaah …. Arrrghhhhhh ……”, badannya bergetar, rupanya Ningsih sudah orgasme hebat. Kemaluanku terasa dijepit berdenyut-denyut. Karena proses orgasme badannya menggeliat seksi ke belakang sehingga tampak makin menggairahkan.
Pemandangan itu, walau cukup kulihat dari belakang, membuat aqu juga sudah merasa nggak tahan lagi, geli hebat mulai terasa di ujung kemaluan yg masih berada di kemaluan Ningsih. Goyganku kupercepat lagi, Ningsih kupeluk erat-erat, dan … “Aaaarhggggghhh … aqu juga keluar Siiiih … eenaaaak Siiih …..”.
Bokong Ningsih kutarik keras-keras ke bawah agar seluruh kemaluanku terbenam di kemaluannya, dan kusemprotkan keras-keras air maniku ke dalem kemaluannya, sambil berharap agar ada spermatozoa yg bisa menyerbu ovumnya sehingga menghasilkan pembuahan, karena mendadak hari ini aqu merasa mencintai Ningsih, tidak sekedar mencari kepuasan seksual saja.
“Ooooh paaaah, aqu cinta kamu paaaah …., Ningsih sayg kamu paaah. Aqu kepingin anak dari kamu paaah …” kata Ningsih sambil terus memutar-mutarkan dan menekan bokongnya menjadikan kemaluanku seperti diperas-peras isinya, dan beberapa kali menyemprotkan mani sampai ludas.
“Aqu juga sayg kamu, Ningsih … kapan-kapan aqu ingin mengajakmu main seks sambil betulan telanjang bulat, mau ya Siih …?”
Ningsih langsung menjawab dgn manja: “Tentu Ningsih mau sekali paah, minggu depan ya paah, kita cari tempat enak untuk bikin anak yg nikmat ya paah?”