Kami kehilangan keperjakaan dan keperawanan kami bersama-sama. Hal itu terjadi ketika usiaku baru menginjak 11 tahun, pada akhir sekolahku di kelas 5. Memang tidak terlalu mengejutkan kalau dipelajari karena pasanganku adalah tetanggaku Retha, yang usianya setahun diatasku, dan duduk dikelas 6.
Kita berdua satu sekolah di pinggir kota Chicago dan kami sudah bersahabat sejak tiga tahun sebelumnya. Sampai kemudian aku menganggapnya lebih dari sahabatku lainnya. Retha agak tomboy, dia biasa bermain mainan yang biasanya dikerjakan anak laki-laki.
Sampai kemudian tubuhnya berkembang seperti selayaknya seorang gadis, dan akupun mulai kikuk kalau sedang bersamanya, tanpa kuketahui dengan jelas apa sebabnya.
Ibu Retha telah cerai dan harus bekerja siang hari pada suatu rumah makan. Keadaan ini semakin menyenangkan buat kami, karena kami berdua biasa ditinggalkan sendirian berjam-jam pada siang hari.
Biasanya kami hanya sebatas duduk bersama sambil berbincang-bincang seperti anak-anak lain pada umumnya. Tapi sore ini terjadi keadaan yang berbeda.
Hari itu kami baru mendapatkan pelajaran pendidikan-sex di sekolah. Pada jaman itu, setahun sekali anak laki-laki dan perempuan dipisahkan untuk mendapatkan ‘pendidikan seks’. Sebenarnya pelajaran itu berupa pelajaran biologi dengan sedikit tambahan informasi tentang masalah sex.
Informasi tersebut cukup rinci dengan dilengkapi pula dengan buku saku dengan judul ‘Apa yang harus diketahui anak laki-laki’ atau ‘Apa yang harus diketahui anak perempuan’.
Disana tidak dijelaskan secara gamblang tentang aktivitas sex. Secara alami anak laki-laki selalu ingin tahu apa yang telah diajarkan kepada teman-teman perempuannya, demikian pula sebaliknya anak-anak perempuan ingin tahu apa yang telah diajarkan ke teman-teman laki-lakinya. Demikian pula yang kami perbincangkan hari itu.
Kami berdua berada di dalam kamar Retha, di atas tempat tidurnya yang berukuran besar, terbuat dari kayu jati yang nyaman. Kami duduk berhadapan, Retha membaca buku sakuku sedang aku membaca buku sakunya.
“Retha, kamu mendapatkan bahan banyak banyak dari yang kuperoleh. Contohnya lihat ini, ada proses haid dan Kotex!”
“Tapi mereka tidak benar-benar menceritakan secara jelas. Aku pikir kita telah memiliki gambar atau semacam anu.”
Aku benar-benar sangat mengharapkan, karena aku belum pernah melihat tubuh perempuan yang telanjang dan seperti apa bentuk anunya dibawah sana.
Retha memakai T-Shirt dan celana pendek, aku bisa melihat betuk lengkungan bukit dadanya yang kecil, dan samar-samar aku juga bisa melihat garis celah-celah diantara pahanya yang tertutup oleh celana ketatnya.
“Aku tidak mengetahui mengapa mereka menyebutnya pendidikan-seks. Padahal disini tidak menerangkan bagaimana cara melakukannya.”
“Siapa bilang? Mari kutunjukan kepadamu,” kata Retha sambil membungkukkan punggung dan meletakkan buku dihadapanku.
Kucium keharuman shampo rambutnya yang membuatku terangsang. Aku pun merasakan ketegangan anuku didalam celanaku. Tapi aku mengharapkan semoga dia tidak menyadari apa yang sedang kurasakan.
“Lihat! Disini dikatakan kontol laki-laki akan tegang kaku dan keras. Sehingga bisa dimasukkan ke memek perempuan, yang lembut dan mudah mengembang. Ketika dia ejakulasi, cairan sperma yang berisi jutaan sel masuk ke memek perempuan dan membuahi telur.”
“Itu sudah ceritakan banyak kepadaku,” katanya dengan menyindir,”Seperti dimana letak liang memek itu? Bagaimana cara kontol memasukinya?”
Sebenarnya aku agak malu mendengar secara fulgar kata-kata itu di depan seorang gadis, sehingga wajahku menjadi merah padam dan kontolku semakin menonjol keluar celanaku. Retha membuka lagi lembar lainnya dan menunjukkannya kepadaku suatu baris gambar.
“Disini tempatnya,” katanya sambil menunjuk kesuatu gambar.
“Sudah jelas apa yang kumaksudkan? Tidakkah sudah cukup jelas yang kamu cari?” kata Retha.
Tiba-tiba sebuah ide masuk keotakku dan aku harus memutuskan untuk mengambil resiko.
“Dimana milikmu?”
Aku hampir tidak percaya bahwa aku benar-benar berani mengucapkannya. Aku tahu aku telah melakukan sesuatu yang bodoh, yang bisa diceritakan Retha kepada teman-temanku disekolah.
Retha melirikku dengan ekor matanya beberapa saat.
Dia kibaskan rambutnya kebelakang dan menyisihkan rambut yang menutupi wajahnya. Kemudian merebahkan punggungnya dan tangannya digerakkan ketempat diantara kedua pahanya. Aku hampir tidak berani memandang ke arah bagian tersebut. Kemudian disusupkannya disuatu tempat di celananya.
“Disini tempatnya.”
Waktu terus berjalan dengan cepat dan aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Aku Cuma tertawa dan berkata, “Itu bukan sangat dekat seperti apa yang dikatakan di buku!”
Retha juga tertawa, dan aku bisa merasakan ‘anuku’ semakin membesar. Kami berdua melanjutkan membuka lembar lainnya sambil memperbincangkan lebih lanjut. Aku jadi grogi ketika Retha kemudian berkata,”Jadi bagaimana kontol bisa muat kalau dimasukkan kesana? Seperti yang dikatakan buku ini. Apa betul?”
Ya ampun! Dia sedang memperbincangkan ‘anuku’! Aku menelan ludah beberapa kali sambil berkata,
“Kecuali, ketika kontol sudah keras dan tegang.”
Aku merasa jantungku berdebar semakin keras. Aku hampir tidak percaya apa yang sedang terjadi! Itu tidak seperti yang sering aku impikan. Aku belum mulai onani, dan proses ke arah sana terus berlangsung dengan cepat.
“Aku masih tidak paham bagaimana caranya kontol bisa masuk kesana. Si perempuan mestinya tidur di atas meja atau apa saja sedang laki-laki dalam posisi berdiri.”
“Aku sempat menyaksikan ‘Wild Kingdom’ semalam dan melihat dua singa melakukan itu. Cukup menarik.”
“Bagaimana cara mereka melakukan itu?” Tanya Retha penasaran.
“Singa betina duduk sana dan singa jantan duduk dibelakangnya. Kukira ia menaruh kontolnya dari belakang.”
“Mana bisa?” kata Retha dengan nada meremehkan yang membuatku marah. Kami memang selalu bersaing dan saling mencintai.
“Benar, Aku melihatnya dengan jelas.”
“Tidak masuk akal, lihat” kata Retha sambil tubuhnya memberangkang dengan perut menyentuh kasur.
“Dengan posisi seperti ini bagaimana bisa masuk?”
“Singa betina bukan berbaring seperti itu. Kakinya ada dibawahnya,” kataku sambil memperagakan posisi singa betina setengah berjongkok dengan tangan bertumpu pada kasur.
“Sama saja tetap tidak bisa. Lihat?” Retha memposisikan kakinya dan sikutnya berada dibawah dadanya. Pantatnya diangkat, sehingga bulatan pinggulnya nampak jelas dibungkus celananya yang ketat.
“Memekku tepat disini.” Tangannya digerakkan diantara kedua pangkal pahanya dan kulihat cembungan ditempat tersebut.
“Jika kontol ditusukkan kesini, tidak akan bisa menjangkaunya.”
Aku yakin bahwa aku yang benar, dan aku harus membuktikannya.
“Kenapa tidak, coba lihat,” kataku sambil memposisikan tubuhku dibelakang Retha seperti singa jantan, dan kontolku kutempelkan dibulatan pantatnya.
“Hey, apa yang kau lakukan??” tanya Retha dengan wajah merah padam.
“Membuktikan bahwa aku benar. Begini.” kataku sambil mendorong dan menggesekan tonjolan kontolku pada bulatan pantatnya. Kurasakan sensasi kehangatan menyentuh bagian tonjolan kontolku.
“Kontol akan ditusukkan dari sini, begini.” Kuletakkan jari telunjukku mengacung diposisi kontolku, kemudian kugerakkan pinggulku kedepan sehingga ujung telunjukku menusuk kepangkal pahanya.
“Ya, tapi tetap saja tidak bisa,” kata Retha tidak puas.
“Hey, aku tahu! Tunggu, jangan bergerak. Pindahkan posisi kakimu diantara kakiku, nah sekarang gerakkan maju.”
Dengan berlandaskan lutut aku berdiri diantara kedua paha Retha, kugerakkan pinggulku kedepan sehingga ujung jari telunjukku menyentuh cembungan dipangkal paha Retha.
“Ohh,” desah Retha. Pinggulnya terjungkit ketika ujung jariku menusuk tepat di memeknya.
“Begitu sudah tepat di memeknya, singa jantan kemudian menindih tubuh singa betina, sambil menusukkan kontolnya kedepan.”
Kurebahkan tubuhku dipunggung Retha sambil menggerakkan pinggulku maju mundur. Jariku kutusuk-tusukkan ke memek Retha. Aku hampir tidak percaya dengan apa yang kulakukan, kenyataannya jari telunjukku sedang menusuk dan menggosok bagian paling rahasia Retha! Kontolku jadi semakin tegang dan kalau diteruskan lagi sepertinya aku bisa orgasme.
Aku tak tahu apa yang Retha rasakan, yang pasti tubuhnya ikut menggeliat-geliat setiap kali kusentuh memeknya. Akhirnya Retha sadar akan keadaan kami, tubuhnya kemudian dibalikkan dan menjauh.
“OK, aku tahu yang kau maksudkan. Kau mungkin benar. Tapi kupikir manusia tidak melakukan dengan cara seperti itu.”
Aku terduduk dengan wajah merah padam, sejenak kutenangkan diriku agar Retha tidak tahu apa yang sedang bergolak pada diriku.”Aku tidak mengatakan begitu, aku hanya mengatakan bahwa dengan cara seperti itu bisa dilakukan. Disamping itu apa ada cara lain untuk melakukan itu.
“Aku pernah melihat sesuatu di TV dengan Mamaku, tapi dia segera merubah channel sebelum aku sempat melihatnya dengan jelas.” kata Retha
“Apa itu?”
“Mereka berada dibawah selimut sehingga aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Tetapi perempuannya jelas sedang berbaring terlentang, seperti ini,” kata Retha sambil berguling terlentang, dengan kedua pahanya direnggangkan.
“Dan ada seorang laki-laki menindihnya dari atas.”
“Tidak, dia tidak akan bisa berbuat sesuatu!” kataku penasaran.
“Kenapa tidak?. Mari kita coba!”
Aku benar-benar khawatir. Aku tidak ingin melukai Retha. Tapi aku ingat katika bermain bola, retha pernah ditindih beberapa anak laki-laki yang ternyata tidak apa-apa. Tapi ada sesuatu yang membuatku berdebar-debar, dengan posisi itu aku akan bisa bergesekan lebih banyak dengan gundukan kecil di pangkal paha Retha. Daerah itu terasa hangat dan telah menghipnotisku sehingga sempat bembuatku hampir orgasme.
“Sekarang berbaringlah di atasku,” kata Retha.
Aku merebahkan diri menindih tubuhnya dengan bertumpu pada kedua tanganku. Kurasakan sepasang bukit di dadanya menusuk dadaku! Desah nafasnya menyapu wajahku dan kucium keharuman rambutnya, demikian juga kehangatan yang terpancar dari pangkal pahanya. Aku benar-benar terangsang berat, apalagi ketika kedua tangannya merangkul leherku sehingga tubuh kami berhimpitan.
“Kamu menyukai posisiku seperti ini?” bisikku dengan suara bergetar.
“Yeah. Sepertinya nyaman,” bisik Retha. Mata kami saling pandang, 1001 perasaan bercampur aduk. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan sampai Retha berbisik,
“Kamu pernah mencium seorang gadis?”
“T… Tidak pernah,” jantungku berdebar keras, aku tidak pernah sedekat ini dengan Retha. Wajahnya yang manis sekali tampak merah padam, tapi malah kelihatan semakin cantik. Tubuhnya yang harum, padat tapi lembut sekali.
“Aku juga,” kata Retha, kemudia kita tertawa bersama.
“Maksudku aku tidak pernah mencium seorang laki-laki, tapi…”
Tiba-tiba Retha menarik wajahku dan… Bibirku bersentuhan dengan bibirnya… Kami berciuman sambil menutup mata, bibir kami saling bergesekan, saling menghisap dan lidah kami saling menyentuh dan membelai…
Wow, sesuatu yang sangat luar biasa!!! Getaran sentuhan bibir kami sampai terasa kesekujur tubuh kami, terasa niimaaat sekali, sulit kami gambarkan dengan kata-kata. Ciuman itu terhenti karena kami kehabisan napas.
“Ohh, luar biasa, manis sekali,” desahku.
Tapi tiba-tiba aku terkejut ketika Retha malah tetawa genit.
“Mnnn… Mmmhmm.” tawanya yang genit lagi.
“Apa yang sangat lucu?” tanyaku penuh tanda tanya.
“Aku dapat merasakan kamu.” kata Retha sambil tersenyum manis.
“Tapi? Aku dapat merasakan kamu juga.” kataku masih bingung.
“Tidak, maksudku aku dapat merasakan anumu… Um… Kontolmu. Aku merasakan benar-benar sangat keras.”
Aduh! Aku benar-benar telah melupakan! Aku benar-benar bodoh luar biasa, dan Retha bisa ceritakan teman-temanku! Aku bisa sangat malu, tapi hal itu terjadi tanpa dapat kukendalikan.
“Oh… Aku… Minta maaf, aku benar-benar tidak sengaja, itu terjadi dengan sendirinya, tanpa dapat kucegah.” kataku terbata-bata, sambil bergerak mengangkat pinggulku.
“Hey, Aku tidak keberatan koq.” kata Retha, sambil melipat kakinya memeluk pinggulku, sehingga aku tidak bisa bangun, dan kurasakan tonjolan kontolku semakin merapat erat dengan cembungan memeknya.
“Aku… Aku tidak tahu. Itu kadang-kadang terjadi dengan sendirinya.” kataku mencoba untuk menerangkan keadaanku.
“Benar? Bagus sekali.” kata Retha sambil menggerak-gerakkan pinggulnya sehingga aku semakin terangsang.
“Seberapa besarnya?” bisik Retha.
“Apanya?!” tanyaku agak panik.
Retha tertawa genit, dia senang melihat kebingunganku.
“Seberapa besarnya mmm kontolmu? Aku merasakan cukup besar. Aku hanya tidak bisa memahami apakah anunya seorang gadis bisa dimasuki yang sebesar itu?
“Aku tidak tahu, aku juga tidak pernah memikirkan seberapa besarnya.”
“Coba kulihat,” kata Retha.
Hatiku semakin berdebar-debar, Retha ingin melihat kontolku! Apakah aku harus telanjang bulat di depan seorang gadis? Tidak!
“Ayolah, biarkan aku melihatnya, please?”
Tunggu dulu. Ini adalah kesempatanku untuk melihat seorang gadis telanjang. Ini benar-benar sesuatu yang luar biasa! Tapi aku tidak yakin Retha membolehkan aku melihatnya. Tapi ternyata Retha mau! Retha juga benar-benar ingin melihatku telanjang. Hanya untuk melihat, tanpa berbuat apa-apa lagi!
“OK, kamu dulu.” kataku.
“Tidak, kita sama-sama.” katanya.
Ini memang adil. Aku segera membuka bajuku, demikian pula Retha. Detak jantungku terasa semakin cepat. Aku pernah melihat Retha dalam pakaian renang, tapi ini benar-benar luar biasa. Sambil melepas bajuku, mataku tidak pernah lepas dari bra-nya yang berwarna putih, dan juga kulit tubuhnya yang kuning mulus. Aku benar-benar tidak pernah membayangkan begitu luar biasa, apalagi ketika Retha membuka kaitan bra-nya dan melepaskannya… Jantungku seakan berhenti bertetak…
Akhirnya aku benar-benar melihat buah dada seorang gadis!!! Bulat, putih bagai cream, putting kecil berwarna pink yang mencuat indah sekali. “Mmm.” Guman Retha menyadarkanku. Retha tersenyum-senyum malu melihatku terbengong-bengong melihat kemulusan buah dadanya.
Aku segera melepaskan sabukku, Retha menyusupkan jarinya memegang elastik celana pendeknya dan berhenti menungguku. Aku segera melepaskan kancing celana dan terus melepas celana jeanku. Kontolku yang tegang langsung tampak mencuat dari dalam celana dalamku. Tiba-tiba mukaku merah padam, ternyata Retha belum melepas celana pendeknya.
“Hey! Ayoi! Kamu kan janji bersama-sama!”
“Oh, maaf. Aku lupa,” kata Retha sambil sorot matanya tidak lepas dari tonjolan kontolku di celana dalamku.
Retha kemudian berbaring sambil melepas celena pendeknya melewati pinggulnya yang bulat indah. Tubuh kami berdua sekarang tinggal dibalut oleh celana dalam. Aku benar-benar kagum dengan kemulusan kulit tubuhnya bagaikan kulit bayi, kuning kemerahan dan halus sekali.
“Siap,” kata Retha.
“OK,” kataku mantap.
Aku benar-benar sudah tidak sabar lagi melihat tubuh seorang gadis yang telanjang bulat di depanku. Dan… Hal itu benar-benar menjadi kenyataan ketika Retha pelahan-lahan melepas celana dalamnya, bersamaan dengan kuturunkan celana dalamku melewati kakiku.
Dan kemudian kami berdua sama-sama terbengong-bengong melihat tubuh telanjang di depannya. Kulit tubuh Retha benar-benar mulus, lekukan tubuhnya benar-benar mempesona. Ketika sudut mataku melihat ke Retha, kulihat wajahnya merah padam dan sorot matanya menjelajahi seluruh tubuhnya.
Sepertinya wajahnya jadi semakin cantik dan oohhh… Sepasang bukit dadanya benar-benar mengagumkan dan menggetarkan hatiku, tapi… Bagian bawahnya… Kulihat rambut kecil-kecil halus berwarna pirang menutupi cembungan dipangkal pahanya. Tapi tidak ada lagi yang bisa kulihat, sepertinya semuanya tersembunyi dibalik rambut halus itu.
“Wow,” seru Retha.
“Berbaringlah terlentang, aku ingin bisa melihatnya dengan jelas.” BErsambung