Kami berpelukan lagi. Kali ini, tanganku bebas memegang burungnya. Tidak begitu besar, tapi cukup keras dan berdiri dengan tegangnya. Kuelus-elus sejenak. Kedua telurnya yang dibungkus kulit yang sangat lembut, sungguh menimbulkan sensasi tersendiri saat kuraba dengan lembut. Penisnya kemerah-merahan, dengan kepala seperti topi baja. Di ujungnya berlubang. Kukuakkan lubang kecil itu, lalu kujulurkan ujung lidahku ke dalam. Anton melenguh. Expresi wajahnya membuatku semakin bergairah. “Ah..” kumasukkan saja batang itu ke mulutku. Anton melepaskan celana dalamku lalu mempermainkan vaginaku dengan jarinya. Terasa sentuhan jarinya diantara kedua bibir kemaluanku. Dikilik-kiliknya klitorisku. Aku makin bernafsu. Kuhisap batangnya. Kujilati kepala penisnya, sambil tanganku mempermainkan telurnya dengan lembut. Kadang kugigit kulit telurnya dengan lembut.
“Nit, pindah di lantai saja yuk, lebih bebas!”
Tanpa menunggu jawabanku, dia sudah menggendongku dan membaringkanku di lantai berkarpet tebal dan bersih. Dibukanya rok abu-abuku, yang tinggal satu-satunya melekat di tubuhku, demikian juga kemejanya. Sekarang aku dan dia betul-betul bugil. Aku makin menyukai suasana ini. Kutunggu, apa yang akan dilakukannya selanjutnya. Ternyata Anton naik ke atas tubuhku dengan posisi terbalik, 69. Dikangkangkannya pahaku. Selanjutnya yang kurasakan adalah jilatan-jilatan lidahnya yang panas di permukaan vaginaku. Bukan itu saja, klitorisku dihisapnya, sesekali lidahnya ditenggelamkannya ke lubangku. Sementara batangnya tetap kuhisap. Aku sudah tidak tahan lagi.
“Ton, ayo masukin saja.”
“Sebentar lagi Nitt.”
“Ah.. aku nggak tahan lagi, aku mau batangmu, please!”
Anton memutar haluan. Digosok-gosokannya kepala penisnya sebentar lalu.. “Bless..” batang itu masuk dengan mantap. Tak perlu diolesi ludah untuk memperlancar, vaginaku sudah banjir. Amboy, nikmat sekali. Disodok-sodok, maju mundur.. maju mundur. Aku tidak tinggal diam. Kugoyang-goyang juga pantatku. Kadang kakiku kulingkarkan ke pinggangnya.
Tiba-tiba, “Ah.. aku keluar..” Dicabutnya penisnya dan spermanya berceceran di atas perutku.
“Shit! Sama saja, aku belum puas, dia sudah muntah,” rungutku dalam hati.
Tapi aku berpikir, “Ah, tak mengapa, babak kedua pasti ada.”
Dugaanku meleset. Anton berpakaian.
“Nit, sorry yah.. aku baru ingat. Hari ini rupanya aku harus latihan band, udah agak telat nih,” dia berpakaian dengan buru-buru. Aku betul-betul kecewa.
“Kurang ajar anak ini. Dasar egois, emangnya aku lonte, cuman memuaskan kamu saja.”
Aku betul-betul kecewa dan berjanji dalam hati tak akan mau main lagi dengannya. Karena kesal, kubiarkan dia pergi. Aku berbaring saja di sofa, tanpa mempedulikan kepergiannya, bahkan aku berbaring dengan membelakanginya, wajahku kuarahkan ke sandaran sofa.
Kemudian aku mendengar suara langkah mendekat.
“Ngapain lagi si kurang ajar ini kembali,” pikirku. Tapi aku memasang gaya cuek. Kurasakan pundakku dicolek. Aku tetap cuek.
“Nita!”
Oh.. ini bukan suara Anton. Aku bagai disambar petir. Aku masih telanjang bulat.
“Ayah!” aku sungguh-sungguh ketakutan, malu, cemas, pokoknya hampir mati.
“Dasar bedebah, rupanya kamu sudah biasa main begituan yah. Jangan membantah. Ayah lihat kamu bersetubuh dengan lelaki itu. Biar kamu tahu, ini harus dilaporkan sama ibumu.”
Aku makin ketakutan, kupeluk lutut ayahku, “Yah.. jangan Yah, aku mau dihukum apa saja, asal jangan diberitahu sama orang lain terutama Mama,” aku menangis memohon.
Tiba-tiba, ayah mengangkatku ke sofa. Kulihat wajahnya makin melembut.
“Nit, Ayah tahu kamu tidak puas barusan. Waktu Ayah masuk, Ayah dengar suara-suara desahan aneh, jadi Ayah jalan pelan-pelan saja, dan Ayah lihat dari balik pintu, kamu sedang dientoti lelaki itu, jadi Ayah intip aja sampai siap mainnya.”
Aku diam aja tak menyahut.
“Nit, kalau kamu mau Ayah puasin, maka rahasiamu tak akan terbongkar.”
“Sungguh?”
Ayah tak menjawab, tapi mulutnya sudah mencium susuku. Dijilatinya permukaan payudaraku, digigitnya pelan-pelan putingku. Sementara tangannya sudah menjelajahi bagian bawahku yang masih basah. Ayah segera membuka bajunya. Langsung seluruhnya. Aku terkejut. Kulihat penis ayahku jauh lebih besar, jauh lebih panjang dari penis si Anton. Tak tahu aku berapa ukurannya, yang jelas panjang, besar, mendongak, keras, hitam, berurat, berbulu lebat. Bahkan antara pusat dan kemaluannya juga berbulu halus. Beda benar dengan Anton. Melihat ini saja aku sudah bergetar.
Kemudian Aku didudukkannya di sofa. Pahaku dibukanya lebar-lebar. Dia berlutut di hadapanku lalu kepalanya berada diantara kedua pangkal pahaku. Tiba-tiba lidah hangat sudah menggesek ke dalam vaginaku. Aduh, lidah ayahku menjilati vaginaku. Dia menjilat lebih lihai, lebih lembut. Jilatannya dari bawah ke atas berulang-ulang. Kadang hanya klitorisku saja yang dijilatinya. Dihisapinya, bahkan digigit-gigit kecil. Dijilati lagi. Dijilati lagi. “Oh.. oh.. enak, Yah di situ Yah, enak, nikmat Yah,” tanpa sadar, aku tidak malu lagi mendesah jorok begitu di hadapan ayahku. Ayah “memakan” vaginaku cukup lama. Tiba-tiba, aku merasakan nikmat yang sangat dahsyat, yang tak pernah kumiliki sebelumnya.
“Oh.. begini rupanya orgasme, nikmatnya,” aku tiba-tiba merasa lemas. Ayah mungkin tahu kalau aku sudah orgasme, maka dihentikannya menjilat lubang kewanitaanku. Kini dia berdiri, tepat di hadapan hidungku, penisnya yang besar itu menengadah. Dengan posisi, ayah berdiri dan aku duduk di sofa, kumasukkan batang ayahku ke mulutku. Kuhisap, kujilat dan kugigit pelan. Kusedot dan kuhisap lagi. Begitu kulakukan berulang-ulang. Ayah ikut menggoyangkan pantatnya, sehingga batangnya terkadang masuk terlalu dalam, sehingga bisa kurasakan kepala penisnya menyentuh kerongkonganku. Aku kembali sangat bergairah merasakan keras dan besarnya batang itu di dalam mulutku. Aku ingin segera ayah memasuki lubangku, tapi aku malu memintanya. Lubangku sudah betul-betul ingin “menelan” batang yang besar dan panjang.
Tiba-tiba ayah menyeruhku berdiri.
“Mau main berdiri ini,” pikirku.
Rupanya tidak. Ayah berbaring di sofa dan mengangkatku ke atasnya.
“Masukkan Nit!” ujar Ayah.
Kuraih batang itu lalu kuarahkan ke vaginaku. Ah.. sedikit sakit dan agak susah masuknya, tapi ayah menyodokkan pantatnya ke depan.
“Aduh pelan-pelan, Ayah.”
Lalu berhenti sejenak, tapi batang itu sudah tenggelam setengah akibat sodokan ayah tadi. Kugoyang perlahan. Dengan perlahan pula batang itu semakin masuk dan semakin masuk. Ajaibnya semakin masuk, semakin nikmat. Lubang vaginaku betul-betul terasa penuh. Nikmat rasanya. Karena dikuasai nafsu, rasa maluku sudah hilang. Kusetubuhi ayahku dengan rakus. Ekspresi ayahku makin menambah nafsuku. Remasan tangan ayahku di kedua payudaraku semakin menimbulkan rasa nikmat. Kogoyang pantatku dengan irama keras dan cepat.
Tiba-tiba, aku mau orgasme, tapi ayah berkata, “Stop! Kita ganti posisi. Kamu nungging dulu.”
“Mau apa ini?” pikirku.
Tiba-tiba kurasakan gesekan kepala penis di permukaan lubangku kemudian.. “Bless..” batang itu masuk ke lubangku. Yang begini belum pernah kurasakan. Anton tak pernah memperlakukanku begini, begitu juga Muklis, lelaki yang mengambil perawanku. Tapi yang begini ini rasanya selangit. Tak terkatakan nikmatnya. Hujaman-hujaman batang itu terasa menggesek seluruh liang kewanitaanku, bahkan hantaman kepala penis itupun terasa membentur dasar vaginaku, yang membuatku merasa semakin nikmat. Kurasakan sodokan ayah makin keras dan makin cepat. Perasaan yang kudapat pun makin lama makin nikmat. Makin nikmat, makin nikmat, dan makin nikmat.