Perkenalkan namaku Prihatin Pamungkas. Kenapa namaku seperti itu? Dan kenapa judulnya adalah tiga belas?
Ini ceritanya. Aku akan menceritakan secara singkat saja. Aku adalah anak bungsu, dilahirkan pada bulan Desember tahun 1965 di kota kecil di ujung barat Jawa Barat. Kedua orang tuaku berasal dari Jogya, Jawa Tengah. Bapakku adalah seorang tukang kayu dan saat aku dilahirkan, bekerja pada saat PT Krakatau Steel didirikan. Setelah proyek selesai, bapakku bekerja di Departemen Penerangan, kota Serang.
Tetapi malang G30S PKI terjadi dan bapakku yang tak tahu apa-apa ikut dibuang ke Nusa Kambangan, lalu ke P. Buru. Tinggallah ibuku yang sedang hamil tua mengandung aku dan kakakku satu-satunya. Akhirnya kakakku dititipkan kepada salah seorang tentara CPM sementara ibuku bekerja di penggilingan padi. Sebut saja nama perwira CPM itu Pak Broto. filmbokepjepang.net
Saat ibuku bekerja, tiba-tiba perutnya mulas dan tanpa sempat dibawa ke dukun beranak ataupun rumah sakit, maka lahirlah aku di lumbung padi dengan ditolong oleh beberapa pekerja penggilingan. Aku diberi nama Prihatin, sesuai dengan kondisi dan situasi saat itu. Oleh Pak Broto, ibuku ditolong dengan bekerja sebagai pembantu rumah tangganya, selama kurang lebih 8 bulan.
Dikarenakan Bapak Kusuma, adik dari Pak Broto yang tinggal di Jakarta membutuhkan pembantu, maka ibuku dimintanya dan ditarik ke Jakarta untuk menjadi pembantu di rumah Bapak Kusuma. Jadilah aku, kakakku dan ibuku hijrah ke Jakarta pada bulan Juli 1966 di rumah Bapak Kusuma di daerah Cilandak.
Pak Kusuma adalah seorang perwira AL. Oleh Pak Kusuma, namaku diberi tambahan Pamungkas agar segala keprihatinanku segera berakhir. Tetapi pada tahun 1971, Pak Kusuma meninggal dunia karena sakit. Bu Kusuma memutuskan untuk kembali ke Jogya sedangkan anak-anaknya karena sudah berkeluarga semua akan tetap di Jakarta dan masing-masing sudah punya pembantu.
Akhirnya Bu Kusuma memberi ibuku uang yang cukup sebagai modal untuk usaha. Dikarenakan usia kakakku yang sudah 7 tahun lebih dan harus sekolah, maka kakakku dititipkan ke saudara bapakku yang kerja di Pemda di Rawamangun.
Akhirnya ibuku mengontrak rumah di daerah Terogong dekat Pasar Mede, dan membuka warung rokok kecil-kecilan di pinggir jalan Fatmawati. Jarak antara rumah kontrakanku dengan warung kira-kira 500 meter. Kontrakan itu milik orang Jakarta, ada 3 pintu, masing-masing ada dapur, 1 kamar tidur dan ruang tamu.
Lantainya masih tanah. Sumur dan kamar mandinya hanya satu di belakang dipakai bersama-sama. Letak kontrakan tersebut di tengah kebun rambutan jauh dari tetangga. Sedangkan pemilik kontrakan, rumahnya cukup jauh sekitar 300 meter.
Masih sangat kuingat bahwa kami hanya tidur di dipan kayu beralaskan tikar tanpa kasur, piring makan hanya dua buah itupun dari kaleng, radio 2 band AM dan SW1, tak punya lemari pakaian. Pakaian kami hanya diletakkan di bawah tikar tempat tidur agar terlihat rapi.
Kontrakanku letaknya di tengah. Tetangga kiriku seorang tukang kayu yang kerjanya tidak tetap, sedangkan istrinya adalah tukang sayur keliling. Anaknya hanya seorang perempuan namanya Titin. Umurnya saat itu baru 5 tahun, lebih muda 1 tahun dariku.
Anaknya hitam manis. Sedangkan sebelah kananku adalah Mbak Nunung yang kerjanya di toko pakaian di daerah Blok M. Umurnya sekitar 20 tahun. Putih, cantik dengan rambut panjang dan lesung pipitnya.
Aku dan Titin sangat dekat bagaikan saudara kandung. Itu dikarenakan kami sering main bersama, makan bersama, mandi bersama bahkan tidur siang pun kadang kami bersama. Anda mungkin sulit membayangkan bagaimana anak sekecil kami sudah harus mengurus diri sendiri. Tapi keadaanlah yang memaksa kami demikian.
Tahun 1972, aku sekolah di SD Negeri 01 yang letaknya kurang lebih 1 km dari rumah yang kutempuh dengan jalan kaki melewati persawahan dan kuburan. Sekolah dengan telanjang kaki adalah hal yang biasa pada saat itu. Begitu pula aku. Setiap hari sepulang sekolah aku ke warung ibuku untuk bantu-bantu, terkadang harus belanja dagangan ke pasar. Sehingga waktu untuk bermain sangat sedikit.
Hubunganku dengan Titin makin dekat saja karena kalau siang kami tak ada teman bermain. Hanya aku dan Titin. Teman sebenarnya sih banyak, hanya karena kami dari keluarga miskin, kami agak minder dan teman-teman kami pun sepertinya enggan berteman dengan kami. Tapi dalam halpelajaran sekolah, aku sama sekali tidak pernah ketinggalan.
Aku selalu bersyukur, walaupun buku pelajaranku selalu pinjam dari teman yang satu angkatan diatasku dan belajar dengan lampu teplok, aku bisa sejajar dengan temanku yang lain. Bahkan aku selalu masuk dalam 10 besar. Hal itu berlangsung terus sampai aku kelas 2 SMP.
Hingga pada suatu saat ketika aku berumur 13 tahun. Aku telah selesai berbelanja keperluan warung untuk esok hari. Rokok, pisang, ubi, terigu, minyak tanah, minyak goreng dll. Oh ya, ibuku selain jualan rokok, juga jualan pisang goreng, ubi rebus, kacang goreng, kopi, teh dll.
Saat aku sedang istirahat, karena siangnya aku harus sekolah, aku mendengar suara erangan dari kamar sebelah kanan. Seperti orang menangis tapi kok intonasinya aneh.
“Kenapa Mbak Nunung ya.. apa sedang sakit perut?” pikirku.
Oh ya Mbak Nunung sekarang sudah janda. Suaminya meninggal tertabrak mobil 2 tahun yang lalu saat usia perkawinan mereka sekitar 6 bulan.
Penasaran kuintip lewat celah-celah bilik bambu. Aku kaget! Penasaran, pelan-pelan kubesarkan lubang mengintipnya, nah semakin jelas. Ternyata Mbak Nunung sedang bersenggama dengan lelaki yang tak kukenal.
Mbak Nunung posisinya berada di atas lelaki itu. Kepalanya mengadah ke atas.Karena posisi mengintipku dari samping, maka yang kelihatan hanyalah payudara Mbak Nunung saja. Payudaranya kurasa cukup besar dan masih kencang itu berguncang-guncang.
Mungkin karena Mbak Nunung janda yang belum punya anak, jadi payudaranya masih bagus. Umur Mbak Nunung saat itu sekitar 28 tahun. “Aduuhh.. shh.. sshh.. ooohh.. ooohh..” rintih Mbak Nunung. Lelaki itu memegangi pinggang Mbak Nunung, sedangkan pantatnya bergoyang-goyang.
Aku yang baru pertama kali melihat adegan itu secara live (walaupun cerita tentang hal itu sering kudengar dari teman-teman) membuatku makin deg-degan. Aku terus mengintip sementara tanpa kuperintah kemaluanku menegang keras.
Kulihat frekuensi naik turun Mbak Nunung semakin cepat sambil mulutnya bicara yang tidak jelas. Lalu tiba-tiba Mbak Nunung mengeram panjang.”Aaaa.. aaachchch.. hhuuu..” dan terlihat dia tergeletak lemas di atas laki-laki itu. Pelan-pelan aku turun dari dipan dengan kaki yang gemetaran. filmbokepjepang.net
Siang itu aku di sekolah banyak bengongnya, sehingga teman-temanku banyak yang bertanya kenapa aku ini, kujawab saja aku sedang tidak enak badan. Mungkin masuk angin.
Semenjak saat itu setiap ada suara-suara desahan dan kesempatan aku selalu mengintip aktifitas Mbak Nunung. Mbak Nunung liburnya tidak tentu. Terkadang Senin, kadang Selasa atau hari-hari yang lain. Jadwal desahan itu hampir bersamaan yaitu sekitar jam 10 pagi sampai jam 12 siang.
Yang kuherankan, lelaki pasangannya sering berganti-ganti. Akhirnya aku tahu kalau Mbak Nunung itu biasa tidur dengan lelaki yang mau membayarnya. Pantas saja penjaga toko kok punya TV serta perabotannya lengkap dan bagus.
Mungkin awalnya Mbak Nunung biasa dibawa ke penginapan tapi karena dianggapnya kontrakan sepi, maka Mbak Nunung memutuskan main di kontrakan. Karena sudah beberapa kali aku melihat Mbak Nunung melakukan senggama, akhirnya aku tahu urut-urutannya.
Pertama mereka saling cium, saling raba, saling remas, saling hisap lalu melakukan penetrasi disegala posisi. Aku tahu bentuk dari vagina Mbak Nunung yang berambut lebat.
Itulah yang membuatku mempunyai perasaan lain setiap melihat kawan dekatku, si Titin. Titin kini umurnya sudah 12 tahun, sudah kelas 1 SMP. Kami sekolah di tempat yang sama. Sama-sama masuk siang. Dia sekarang jauh lebih putih daripada dulu.
Hal-hal yang tadinya tidak begitu kuperhatikan pada Titin akhirnya kuperhatikan. Wajahnya yang oval, hidungnya yang agak mancung, giginya yang putih, bibirnya yang merah alami, alisnya yang cukup tebal, rambutnya dipotong pendek ternyata semuanya dapat nilai diatas rata-rata. Dadanya bagus tidak terlalu besar.
“Kenapa baru sekarang aku perhatikan ya. Kenapa nggak dari dulu?” pikirku. Mungkin karena aku terlalu sibuk dengan urusanku, keluargaku, sekolahku. Padahal aku sering mengajarkan Matematika dan IPA kepadanya.
Suatu ketika, sewaktu kulihat ada Mbak Nunung di rumah sedang menerima tamu, kira-kira jam 10, aku tahu apa yang akan terjadi. Setelah kira-kira mereka masuk kamar, kupanggil si Titin. Saat itu dia sedang mencuci beras.
“Tin, sini deh. Mau lihat yang bagus nggak?” kataku.
“Lihat apa?” dia balik tanya.
“Pokoknya bagus deeehhh..” ajakku sambil menggandeng tangannya.
Sementara dia sedang jongkok, sekilas terlihatlah celana dalamnya yang berwarna putih di antara pahanya yang mulus. Pikiranku langsung ngeres. “Seperti apa ya isinya? Apa masih seperti dulu?”pikirku. Karena sejak umur 8 tahun kami tak pernah mandi bareng lagi. Malu katanya. Saat dia bangun, dadanya sempat tersentuh lenganku. Lunak dan lembut. Waahh, makin ngeres aja aku.
Setelah menyimpan bakul beras di rumahnya, dia pun masuk ke rumahku lewat pintu belakang.”Sssttt.. jangan berisik ya..” kataku sambil menempelkan telunjukku ke bibirku.
“Kenapa?” tanyanya.
Aku dekatkan bibirku ke telinganya.
“Geser kalendernya, di situ ada lobang. Coba lihat ada apa..” bisikku.
Sementara itu sudah ada suara desahan-desahan halus dari kamar sebelah. Dia naik dipan perlahan-lahan. Digesernya kalender dan mulai mengintip. Reaksinya pertamanya adalah kaget dengan muka merah menatapku.
“Ada apa?” tanyaku berlagak bego.
“Mereka lagi ngapain?” tanyanya.
“Aduuhhh.. Titin ini belum ngerti atau pura-pura siihh..” batinku.
Aku langsung mengambil kesimpulan sendiri kalau Titin itu sama seperti aku dulu. Tidak tahu apa-apa tentang seks.
“Coba kamu lihat terus. Aku nggak ngerti makanya kupanggil kamu. Karena aku udah pernah liat tapi aku nggak tahu..” jawabku pura-pura bodoh.
Bersambung