– sebenarnya adalah kenalan lamaku. Dia dulu seorang PSK. Aku mengenalnya ketika ia masih menjalankan pekerjaan lamanya tersebut. Waktu itu aku masih kuliah. Satu sore sepulang dari daerah Cideng, aku melewati wilayah Tanah Abang yang secara harfiah berarti tanah merah. Dan memang daerah ini dikenal sebagai daerah merah. Karena haus aku mampir ke sebuah kedai dan memesan minum.
Di dalam kedai ada seorang wanita yang berdandan sederhana, tidak ada riasan wajah menyolok atau pakaian yang mengundang. Aku duduk di depannya.
“Baru pulang kerja, Mas?” tanyanya ramah.
“Iya,” jawabku singkat. Sebenarnya tidak, karena waktu itu aku memang belum bekerja.
Ia mulai memberiku beberapa pertanyaan lagi dengan nada yang ramah, namun mulai mengarah dan akupun dapat menduganya bahwa ia salah satu wanita yang sedang mencari mangsa. Akupun tahu namanya, Santi, asalnya Tegal. Tingginya sekitar 155 cm dengan dada cukup besar.
Akhirnya pertanyaan pokokpun terucap dari mulutnya.
“Istirahat dulu, Mas?”
Aku pura-pura bodoh dan tidak tahu arah pembicaraannya.
“Istirahat di mana? Ini juga mau pulang, istirahat di rumah,” kataku.
“Ah Mas ini. Jangan pura-pura. Kita ke kamar yuk!” ajaknya.
Akhirnya setelah tercapai kesepakatan, singkat cerita kami sudah berada di dalam kamar hotel kumuh yang bertebaran di sana.
Segera kupeluk dan kucium dia, tetapi dia menolaknya.
“Kita mandi dulu deh Mas!” katanya.
Tumben pikirku, kok ada PSK yang menyuruh tamunya mandi dulu sebelum berkencan. Sepertinya mulai ada kesanku secara khusus terhadapnya.
Pada waktu mandi, kusabuni punggung dan payudaranya kemudian kusiram dengan air dan mulai kusedot putingnya. Ia hanya menggerinjal dan berkata”Sabar dulu Mas, nanti saja”. filmbokepjepang.net Namun tangannya tidak menolakku, bahkan tangannya yang menyabuni penisku dengan cermat sampai bersih. Tangannya tidak berusaha mengocok selama berada di penisku, benar-benar hanya menyabuni dan membersihkannya.
Selesai mandi dan mengeringkan tubuh, ia segera kupeluk di atas ranjang.
“Ihh Mas ini beber-benar nggak sabaran deh. Tuh kan kalau sudah mandi badan jadi seger!” katanya. Aku diam saja dan mulai memainkan payudaranya.
“Sebentar Mas, berbaring aja dulu!” katanya sambil menelentangkan badanku.
Diambilnya cologne biasa, bukan merk mahal, dan diusapkannya di dadaku dan ketiakku.
“Biar harum”, katanya.
Aku semakin terkesan dan mulai menikmati tindakannya. Rasanya dengan uang yang kukeluarkan aku bisa mendapatkan lebih dari yang kuharapkan. Setelah itu barulah ia menciumku dengan lembut. Berdasar cerita dan pengalamanku tidak setiap PSK mau melayani tamunya berciuman bibir. Namun Santi mencium bibirku dengan lembut dan semakin lama semakin kuat menyedot bibirku.
Kini dia mencium dan mengusap dadaku yang berbulu, kemudian terus ke bawah dan akhirnya penisku yang masih kecil diisapnya. Tak lama kemudian penisku pun membesar akibat rangsangan yang diberikan. Sungguh pandai ia memainkan mulut dan lidahnya di sekujur penisku. Setelah beberapa lama ia menghentikan aksinya dan berbaring telentang. Aku tahu ia ingin aku segera menyelesaikannya.
Kutindih dan kucium bibirnya. Tak lama kemudian dengan arahan tangannya penisku sudah menembus liang vaginanya. Kurasakan iapun membalas dengan penuh gairah setiap serangan yang kulancarkan, namun aku tidak tahu apakah dia benar-benar menikmati atau hanya sekedar servis terhadap tamunya. Lima belas menit kemudian tubuhku sudah mengejang di atasnya. Ia tersenyum dan mengajakku membersihkan badan.
Selesai membersihkan badan, kami masih sempat ngobrol-ngobrol sebentar hal-hal mengenai dirinya. Ketika kutanya apakah namanya hanyalah nama profesi atau nama sebenarnya, ia mengeluarkan KTP-nya dan menyerahkannya padaku. Kubaca, “Rosanti”. Sekilas kulihat tanggal lahirnya, berarti ia sekarang dua puluh delapan, sementara aku waktu itu masih dua puluh tiga. Karena kami kamar yang kami sewa menggunakan cara jam-jaman dan kulihat waktu telah habis, maka kamipun keluar dan aku segera pulang. Kesan yang timbul padaku, bahwa ia pun menyukaiku lebih dari sekedar PSK dan pelanggannya.
Beberapa hari kemudian, pada suatu siang aku lewat Tanah Abang lagi. Hanya sekedar lewat, namun aku juga berharap dapat bertemu dengan Santi lagi. Ketika berjalan dalam sebuah gang sempit, kulihat dari belakang sepertinya Santi. Kupercepat langkahku dan kujejerkan langkahku. Kulihat dari samping ternyata memang Santi.
“San.. Santi ya? Masih ingat aku nggak?” tanyaku setelah berjalan di sampingnya.
Ia menoleh sambil menghentikan langkahnya. Menatapku dan mengingat-ingat, akhirnya, “Mas kan yang minggu lalu sama aku? Namanya.. Ennggh..” katanya.
Kupotong kata-katanya, “Anto,” sahutku.
“Ya, Mas Anto. Baru aku ingat”, jawabnya, “Mau ke mana?” sambungnya.
“Enggak, ini mau pulang, kebetulan lewat sini. Siang-siang kok sudah pulang?” tanyaku.
“Aku belum pulang mulai tadi malam. Sekarang baru bisa pulang dan mau istirahat”.
Aku diam dan berpikir sejenak. Melihatku kelihatan ragu dia bertanya, “Mau istirahat lagi?”
“Boleh deh,” kataku mengiakannya.
Dia tidak jadi pulang dan kembali kami berkencan di hotel yang sama. Namun kali ini aku ambil sewa kamar selama dua jam. Dengan perlakuan yang sama seperti kemarin ia melayaniku. Setelah kutembakkan laharku, kami sama-sama berbaring ngobrol sampai waktu habis. Ketika aku mengeluarkan dompet, ia berkata.
“Nanti aja, sekarang kita ke kontrakanku yuk!”
Akupun menurut saja dan mengikutinya ke rumah. Kembali kami mengobrol di kontrakannya. Ia tinggal bersama pemilik rumah, dan pemilik rumahnyapun mengerti dan mau menerima keadaannya. Ketika pulang, kembali kuambil uangku, namun ia tetap menolak dan berkata.
“Untuk ongkos pulang kamu saja ke Bogor!”
Setelah itu kami sering bertemu. Namun tidak setiap kali bertemu kami lalu bergulat di atas ranjang. Kadang kami hanya mengobrol saja. Kalau tidak ada di hotel, kucari dia di kontrakannya. filmbokepjepang.net Santi kadang masih menolak uang pemberianku, tetapi kalau aku lagi ada obyekan kecil, kupaksa dia untuk menerimanya. Dia menyatakan senang kalau ngobrol denganku.
“Ada yang mau mendengarkan dan mengerti sisi hitam dari jalan hidupku,” katanya.
Aku sendiri mengatakan, kalau ada kesempatan untuk berhenti, maka berhentilah dari pekerjaannya dan membuka usaha atau pekerjaan yang lain.
Suatu ketika aku mencarinya di hotel. Kata penjaga hotel dia sudah pulang belum lama tadi. Kususul ke rumahnya. Ia sedang mandi. Tak lama kemudian ia sudah menemuiku di ruang tamu. Ia mengenakan gaun hitam panjang dengan belahan sebelah setinggi lutut. Kakinya yang mengenakan sepatu hak tinggi membuat ia semakin menarik. Kupikir-pikir ia mirip dengan Yuni Shara, hanya saja kulitnya lebih gelap.
“Mau kemana. Kok rapi sekali?” kataku.
“Kebetulan ada kamu. Anterin ke Pasar Minggu yuk. Aku mau beli gelang kaki di toko emas langgananku. Dulu aku punya, namun putus dan kujual,” jawabnya.
Akhirnya kami berjalan ke depan menunggu Metro Mini yang ke arah Pasar Minggu. Panas matahari terasa menyengat kulit. Setengah jam menunggu belum ada juga Metro Mini yang kami tunggu. Cuaca semakin panas.
“Panas, San. Kita istirahat saja dulu yuk. Entar sore aja ke Pasar Minggunya!” ajakku.
Ia setuju. Kamipun masuk ke dalam kamar. Kali ini dia yang memilih kamar ke penjaganya.
“Kamar yang di sudut,” katanya.
“Sama aja. Emangnya apa bedanya?” tanyaku.
Ia tersenyum saja. Setelah mengambil kunci maka kami masuk ke dalam kamar yang dimaksudkannya. Isi dalam kamr tidak berbeda dengan kamar lainnya. Sebuah bed standar, kipas di langit-langit, lemari dan kamar mandi. Namun ketika kulihat di dinding, maka ada cermin yang dipasang memanjang sejajar dengan arah bed.
“Ooo, ini toh bedanya..” kataku.
“Tidak semua kamar ada cerminnya. Aku tahu beberapa kamar yang dipasang cermin. Dulu-dulu selalu tidak pernah kebagian kamar ini”.
Ia membaringkan badannya. “Tidak mandi?” tanyaku.
Ia mengeleng, “Tidak, aku kan baru saja mandi. Kamu saja mandi yang bersih!”
Aku mandi dengan cepat dan yang penting kusabuni meriamku sampai bersih. Kulihat sudah mulai membesar tidak sabar untuk menembakkan pelurunya.
Selesai mandi aku keluar dari kamar mandi dengan berlilitkan handuk. Kulihat Santi sedang berdiri dan mulai membuka kancing gaunnya. Kupeluk dia dari belakang dan tanganku membantunya melepaskan kancing dan bajunya. Seperti biasanya ia mengenakan celana dan bra hitam transparan sehingga apa yang ada di baliknya terlihat membayang. Setelah bra-nya terlepas, kurems-remas payudaranya dari bagian bawahnya. Kucium leher dan telinga kirinya, tangan kirinya terangkat dan kemudian menarik rambutku. Handukku terlepas setelah tangannya yang lain menarik ikatannya.
Kutekankan selangkanganku di atas belahan pantatnya. Penisku yang sudah mulai siaga segera terarah ke atas setelah menempel di pinggangnya. Kulepaskan tangannya dan mulutku kemudian menyapu seluruh punggungnya. Dengan gigiku kulepas kaitan bra-nya dan dengan berjongkok kugigit ban celana dalamnya, kutarik ke bawah dan kuteruskan dengan tangan untuk melepasnya.
Kupondong dan kubawa di ranjang. Aku berdiri dengan posisi menghadap ranjang dan Santi berbaring miring, dia dengan lahap menghisap kejantananku. Dijilatinya lubang kencingku, sedang tangannya memegang dan mengocok batang penisku kemudian memijat-mijat buah zakarku.
“Hhmm.. Terus San. Enak.. Ohh.. Aaagak keraas Saantiihh..”.
Setelah beberapa menit menjilati kejantananku, aku melepaskan penisku dari mulutku. Kubuka kakinya lebar-lebar, tercium aroma yang khas namun segar.
“Mau diapain To?”
“Tenang aja, Aku juga ingin jilatin milikmu”
“Enggak usah To. Jangan.. Jang.. Ngan!”
Tanpa menunggu kata-kata yang akan diucapkannya lagi, aku langsung menjulurkan lidahku menuju lubang vaginanya. Dia hanya bisa merintih.
“Oooh.. Ssshhtt.. To..”
Tangannya menjambak rambutku. Lidahku mulai mengarah ke klitorisnya. Jambakannya bertambah kuat dan desahannya semakin menjadi.
“Tteeruus.. Saayaanghh.. Ooohh!”
Aku semakin cepat menggerakkan lidahku berputar-putar dan menjilati klitorisnya. Sesekali aku menyedotnya dengan keras. Beberapa detik kemudian kedua tangannya menekan kepalaku dengan kuat sehingga aku sedikit susah bernafas. Aku semakin kuat menjilati klitorisnya.
Kuhentikan gerakan lidahku. Kutindih tubuhnya dan wajahnya kulihat tersenyum. Sambil berciuman tangan kananku menjelajah ke selangkangannya. Dia semakin agresif menyedot bibirku. Bibirku turun ke lehernya, kujilat lehernya dan beralih ke dadanya. Kuisap putingnya dan sesekali kugigit belahan dadanya.
“Ssshh.. To.. Ahh.. Shh..”.
Tangan kanannya meraih batang penisku yang sedari tadi sudah mengeras. Kurasakan nafasnya sudah mulai tak teratur. Dia meremas penis