Aku pulang dari Balikpapan setelah berada di sana selama tiga minggu untuk urusan kantor. Aku tidak dapat pesawat yang langsung ke Jakarta, jadi terpaksa naik pesawat terakhir yang transit di Surabaya. Karena badan terasa lelah sekali, begitu pesawat take off aku langsung tertidur lelap dengan melepas seat belt agar lebih nyaman. Aku sudah tidak peduli dengan penumpang di sampingku. Seorang wanita berumur tiga puluhan. Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara halus.
“Pak, sandarannya ditegakkan dan sabuknya dipasang. Sudah mau landing” Ternyata suara pramugari mengingatkanku. Aku setengah terkejut dan kesadaranku masih belum pulih ketika roda pesawat sudah menyentuh landasan. Setelah pesawat berhenti baru aku sadar sepenuhnya. Kemudian awak kabin mengumumkan pesawat akan transit selama 45 menit dan penumpang dipersilakan untuk turun menunggu di rung tunggu bandara Juanda. Karena aku duduk di dekat jendela, maka aku menunggu wanita tadi keluar dari bangkunya.
Aku mengikuti barisan penumpang yang turun dan tak lama aku sudah berada di ruang tunggu. Wanita tadi duduk di depanku agak ke menyamping ke kanan. Aku berdiri sebentar dan merentangkan tanganku agar otot-ototku relaks, lalu duduk lagi. Wanita tadi memperhatikanku sekilas. Kulempar senyum dan iapun membalas sekedarnya. Kacamata tipis, mungkin minus satu atau paling banter minus dua bertengger di hidungnya yang bagus. Kubaca Matra Edisi Khusus yang kubeli di book store. Liputannya tentang kehidupan malam sepanjang Bopunjur. Tahu Bopunjur? Bogor, Puncak, Cianjur.
Kubuka-buka sebentar dan sekilas isinya aku sudah tahu. Bahkan bukan sombong, tempat-tempat yang disebutkan di dalam liputan itupun bukanlah sesuatu yang asing bagiku. Akhirnya kuletakkan Matra tadi di atas meja di sampingku. Wanita tadi sekilas memperhatikan covernya. “Mas, boleh pinjam majalahnya?” ia bertanya sambil mendekat mengambil Matra tadi. Sayang, rupanya tempat duduknya kemudian diambil orang yang berdiri dan mengobrol dengan teman yang duduk di sebelah wanita tadi. Kuturunkan tasku dari bangku di sampingku dan tanpa disuruh wanita tadi sudah duduk di situ dan mulai muembuka lembaran majalah yang dipegangnya. Terdengar pengumuman bahwa pesawat yang kunaiki mengalami gangguan teknis sehingga pemberangkatan ditunda satu jam.
Kudengar gerutuan sebagian penumpang. Wanita tadi cuma memiringkan kepalanya memperhatikan pengumuman tadi dan setelah itu ia kembali asyik membaca. Setelah tigapuluh menit membaca, ia menyerahkan majalah itu kembali padaku sambil mengucapkan terima kasih. Aku memulai percakapan. “Ke Jakarta?” tanyaku. “Iya, untuk tugas dari kantor,” jawabnya. “Di Jakarta tinggal di mana?” tanyaku lagi. “Belum tahu, sebenarnya saya harus ke Ciawi untuk ikut kursus, tapi nampaknya kita akan kemalaman tiba di Cengkareng. Aku sendiri belum hafal Kota Jakarta.
Apalagi malam hari. Tadi kalau berangkat siang sih sebenarnya ada panitia yang jemput. Mau langsung ke Ciawi agak ngeri, apalagi setelah membaca liputan tadi”. Dari logatnya aku menduga ia berasal dari Banjar. Setelah kutanyakan kepadanya ternyata benar dan ia sudah bekerja di Balikpapan selama lima tahun. Aku tidak menanyakan statusnya. Buat apa pikirku. Toh aku tidak berniat memacarinya. “Kerja di mana sih?” Pertanyaanku mulai menjurus hal-hal yang personal. “Saya apoteker”. “Pantas bajunya bau obat,” aku kelepasan bicara.
Aku baru sadar setelahnya. Ia melengos mukanya memerah, mungkin tersinggung dengan ucapanku tadi. Satu jam berlalu dan kulihat ia menjadi gelisah sambil terus-menerus memandang keluar, ke arah landasan. Akhirnya setelah seperempat jam kemudian pesawat kami sudah siap melanjutkan penerbangan dan para penumpangpun naik ke pesawat. Lima puluh menit kemudian pesawat sudah tiba di Cengkareng.
Karena tidak bawa bagasi, aku bergegas keluar. Wanita tadi masih menunggu tas satunya di bagasi. Aku masih berdiri di luar sambil cari-cari taksi ketika wanita tadi mendekatiku. “Mas pulangnya kemana?” “Saya tinggal di Jakarta Timur”. Dia kelihatan ragu hendak mengatakan sesuatu. Aku menduga-duga ini ada kaitannya dengan tujuan kepergiannya. “Kalau mau begini saja. Mbak nginap saja di hotel, besok pagi baru berangkat ke Ciawi. Lebih aman,” kataku menyarankan.
Kulihat dia ragu-ragu dan kelihatan seperti sosok yang lemah. Dia menatapku lagi seakan-akan minta perlindungan. “OK, jadi begini, Mbak nginap di hotel. Saya akan temani. Eh.. Maksudnya saya ambil kamar satu juga di sana. Besok pagi saya antar ke Ciawi. Kebetulan saya masih ada kelebihan hari perjalanan dinas,” kataku memutuskan. Akhirnya dia setuju dan mukanya menjadi cerah. “Oh ya maaf, dari tadi kita belum kenalan. Saya Della,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Anto,” kataku sambil kujabat tangannya. Aku berpikir, kalau saja dia tidak memerlukan pertolonganku, mungkin dia tidak akan mengajak berkenalan. Tapi wajar saja karena dia perempuan. Beberapa menit kemudian kami sudah sampai di sebuah hotel di kawasan Matraman. Kami dapat kamar bersebelahan.
Kami masing-masing masuk ke kamar dan berjanji untuk makan di bawah setelah mandi dan merapikan diri. Setengah jam kemudian kuketuk pintu kamarnya. Tok tok tok. “Della.. Della. Ini Anto”. “Tunggu sebentar Mas”. Tak lama kemudian ia membuka pintu kamarnya. Kulihat sekilas barangnya masih berantakan di atas ranjang. Kamipun segera turun ke bawah untuk mencari makanan. Dengan pertimbangan biaya kuajak dia untuk makan di warung tenda saja. Di Jakarta tidak ada tempat untuk gengsi. “Saya dari Balikpapan kepingin makan gudeg setelah sampai di Jawa,” katanya. “Ada, nanti kita cari,” jawabku sambil menyusuri trotoar. Jalan sudah mulai lancar, kupegang tangan kanannya. Ia terkejut dan dengan halus menarik tangannya.
Sekilas kulihat jarum pendek sudah melewati angka sembilan. “Sorry.. Saya hanya mau lihat jam saja kok”. Ia hanya menunduk dan kamipun terus berjalan. Setelah makan gudeg, kami kembali ke hotel dan duduk di lobby. Rasa penat masih terasa di badanku. Aku sebenarnya mau massage, tapi nggak enak sama Della. Kami masih bicara ke sana ke mari, sampai akhirnya kami merasa mengantuk. Kulihat jam dinding menunjukkan jam setengah sebelas. Kami naik dan kuantar dia di depan kamarnya. Kuharap dia mempersilakanku masuk, namun Della hanya mengucapkan terima kasih kemudian selamat malam dan menutup pintunya. Sekilas kulihat sorot matanya yang berbinar memandangku.
Aku masuk ke kamar dan langsung membaringkan diri ke atas ranjang tanpa membuka pakaianku. Kucoba untuk memejamkan mata, tetapi tidak bisa. Kubayangkan Della yang tidur sendirian di kamar sebelah. Lebih satu jam aku hanya bergolek ke kanan kekiri tanpa bisa memejamkan mata. Akhirnya kuputuskan kuhubungi saja gadis di kamar sebelah ini. Kuraih gagang telepon dan kutekan nomor kamarnya, 237.
Setelah beberapa kali berdering kemudian dari seberang terdengar suara agak serak, “Hallo”. “Della, belum tidur kan?” “Eh.. Mas Anto. Belum Mas, mataku tidak bisa terpejam. Padahal di lobby tadi sudah menguap terus. Mikirin besok pagi”. “Atau lagi mikirin yang lainnya kali,” kataku menggodanya. “Ahh Mas Anto ini ada-ada saja”. “Kita ngobrol lagi aja yuk,” ajakku. “Sudah malam, nggak enak dilihatin orang nanti”. “Ini Jakarta Non, saya ke kamarmu ya?” kataku dengan nada setengah memaksa. “Iya deh,” katanya lemah.
Kuketok pintu kamarnya tiga kali dan kemudian pintu dibuka dari dalam. Aku masuk, kini barangnya gantian berantakan di atas kursi. “Maaf Mas, berantakan. Belum sempat beresin. Rencananya besok aja sekalian berkemas. Duduk, Mas!”. Aku mengedarkan pandanganku. Karena sudah tidak ada tempat duduk lagi maka aku duduk diatas ranjangnya. Kami akhirnya ngobrol tentang pengalaman kami masing-masing saat masih kuliah. Semakin lama semakin seru topik obrolan kami. Ia mengeluarkan dua kaleng minuman ringan dari mini bar. Dan meletakkannya di antara kami. “Diminum Mas”. Aku mengambil satu kaleng tapi tidak kubuka, hanya kupegang-pegang saja.
Entah bagaimana awalnya, tangannya tiba-tiba sudah kupegang dan kutarik dia ke pangkuanku. Kucium bibirnya dengan ganas. Della menghindari ciumanku, tapi aku tidak menyerah. Kucoba lagi, kali ini bibirku mendarat pas pada bibirnya. Ia meronta sebentar tapi kemudian ia membalas ciumanku dengan tidak kalah ganasnya. “Mas.. Ah.. Ehh .. Ouhh,” Ia gelagapan membalas seranganku. Kulepaskan seranganku sebentar karena aku merasa jalan tol sudah terbuka di depanku, sekarang tinggal tunggu saat yang tepat saja untuk memacu mobilku. Kutatap dia dengan tajam. Ia kelihatan jengah dan menghindari tatapanku. Ketika mata kami saling bertemu, aku memberi isyarat dengan menganggukkan kepalaku. Iapun mengangguk malu dan menundukkan mukanya.
Aku sedikit terkejut ketika sadar bahwa ia tidak mengenakan bra di bawah kausnya. Aku tahu karena putingnya menonjol, membentuk bayangan satu titik di kausnya. Aku tersenyum sambil melirik pada payudara Della. Della hanya tersenyum melihatku, kakinya ditaruh di atas pahaku dan dia menyodorkan dadanya ke depan mukaku. Tanpa diberi komando aku langsung meremas payudaranya dengan penuh nafsu.
Tanganku kemudian membuka kausnya. Aku menciumi payudaranya dan menghisap putingnya yang mulai mengeras. Tangan Della membelai rambutku sambil sesekali mendorongnya ke payudaranya. Aku menggunakan jariku untuk membelai daerah selangkangannya, dan jariku juga mulai menekan terutama di lipatan vaginanya. Tangan Della digesek-gesekan di penisku yang juga sudah mengeras. “Aah.. Mas ss.. Enak.. Teruss.. Anto.. Ahh” Mendengar erangan Della nafsuku sudah tidak dapat ditahan lagi.
Aku merebahkan diri sambil menciumi leher Della dan naik ke bibirnya. Kubuka celana panjangku. Aku terus menciumnya dengan penuh nafsu, kutindih tubuhnya diatas spring bed yang empuk. Kulirik bayangan di kaca lemari. Badanku yang besar seolah-olah menenggelamkan badannya yang mungil. Sambil mendesah Della tertawa kegelian, “Ahh.. Nafsu amat sih..” Kubuka celana pendeknya dan kutarik sekaligus dengan selana dalamnya. “Akhh..”
Kami saling mengulum bibir dengan penuh nafsu, nafas kami mulai tidak teratur. Kaki Della menjepit pinggangku Aku menciumi leher kemudian turun ke payudaranya, lalu aku hisap putingnya. Terus turun dan menghisap pusarnya, Della tidak tahan diperlakukan demikian, “Anto.. Akh.. Geli akh..,” Aku terus menciuminya lalu aku turun dan saat sampai di depan selangkangannya aku menurunkan kepalaku, menjilati paha dan sesekali menggigitnya. Dia mengganjal kepalanya dengan bantal dan memperhatikanku. Cerita Mesum Bugil 2017.
Ketika mulutku akan menyapu vaginanya ia menarik kepalaku ke atas dan menciumiku kembali. “Jangan.. Aku tidak biasa..”. Penisku kuarahkan ke vaginanya yang basah, kutekan perlahan dan saat sudah masuk setengahnya aku menekan dengan keras. “Sshh.. Akhh.. Terus To.. Akh..,” Della merintih Bibir kami saling bertautan dengan kuat. Ketika kulepaskan bibirnya yang justru mencari-cari bibirku. Mulutnya setengah terbuka sambil mendesis-desis. Aku menggerakkan penisku dengan perlahan dan kadang aku percepat temponya.
Rasanya penisku dijepit dan diremas-remas dengan kuat oleh otot vaginanya. Dan hal ini membuat aku semakin tidak tahan, penisku rasanya sudah hampir meledak. Aku terus memompa penisku di vaginanya dengan tempo yang bertambah cepat. Nafasku mulai memburu. Payudaranya kuremas dan kupencet sehingga putingnya bertambah menonjol. Kujilati putingnya dan kugigit-gigit dengan bibirku. Aku menghnetak-hentakkan tubuh Della ke ranjang dengan kasar saat aku sudah tidak dapat menahan ledakan penisku, “Dell Della.. Akh.. Ouch.. Akh..”.
Kurasakan tubuh Della juga mulai bergetar dan bergerak-gerak dengan irama yang liar. Matanya merem melek, bola matanya memutih. Kakinya menjepit pinggangku. filmbokepjepang.net Tubuhku mengejang dan aku menekan tubuh Della hingga semakin tubuh kami semakin merapat. “Akh.. Anto.. Nikmat sekali.. Sss” “Yeah Della.. Akh. Kalau saja dari tadi.. Pasti aku..” “Akh.. Tekan yang cepat dan kuat.. Akh..” Mata Della merem melek menikmati sodokan penisku. Aku kemudian mengangkat kedua kakinya dan memegangnya dengan tanganku. Aku dalam posisi setengah jongkok dengan tumpuan kedua lututku. Cerita Mesum Bugil 2017.
Tanganku memegang pinggangnya dan penisku menekan dengan irama yang semakin cepat. Vaginanya terasa basah dan becek, namun penisku bagaikan dijepit kuat dengan tang. “Akgh Anto.. Aku hampir.. A a kku.. Hampir keluarhh.. Ouchhggakhh,” Kurebahkan tubuhku diatas tubuhnya dan kupeluk dengan rapat. Aku menikmati ekspresinya saat Della menunggu mencapai orgasmenya. Kudiamkan sejenak gerakan penisku. Della memprotes dan tangannya memegang pinggangku serta menggerakkannya naik turun. Kurasa tensinya sedikit turun. Aku masih ingin menikmati permainan dan kuharapkan dapat kucapai puncak bersama-sama. Aku mengehentakkan pantatku naik turun dengan sedikit kasar.
Keringat kami sudah mulai bercucuran. Tangan Della meremas-remas pantatku dan kadang menariknya seolah-oleh penisku kurang dalam masuk dalam vaginanya. Saat aku merasakan hampir meledak aku melambatkan gerakanku dan mengatur nafasku sambil menghisap putingnya, ketika perasaan itu sedikit hilang aku mulai bergerak lagi.
Tangannya meremas pundakku dan dengan liar bibirnya mencari bibirku. Dia mendesah dan gerakannya sangat liar. Aku tahu kini saatnya kami dapat mencapai puncak kenikmatan tertinggi bersama-sama. “Yeah.. Anto.. Akhh. Kamu belum mau keluar juga.. Akhh ouchh.
” Della mengejang dia mengangkat pantat menekan penisku sehingga rasanya sampai di dasar rahimnya dan penisku serasa disedot dengan kuat, tubuh Della melengkung dan tangannya mengusap pipiku dengan kuat. Kutekan pantatku perlahan namun penuh tenaga. “Yeacchchh..”. Tubuh kami menggelinjang dengan hebat, kami berteriak dan tidak perduli jika ada orang lain yang mendengarnya.
“Akhh.. To.. Anto.. Aakkhh..” “Della kamu hebataunhh.. Akh.. Ouchhakhh.. Akh.. Ouch..”
Kami mengelepar menikmati kenikmatan yang kami rasakan bersama. Aku beranjak bangun dari tubuhnya saat penisku sudah mengecil, Tubuhnya bergetar saat aku mencabut penisku. “Kau luar biasa Del.. Hmm.. Tabat Barito ya!” pujiku. Ia tersenyum saja dan menggayut di lenganku, “Kok tahu aja sih..”. Katanya manja. “Apoteker yang punya obat-obatan lengkappun masih mengandalkan Tabat Barito. Luar biasa memang,” kataku lagi. Kami tidur berpelukan sampai pagi dan paginya kuantarkan dia ke Ciawi. Dia berjanji akan menginap lagi semalam di Jakarta dan memberikan lebih lagi nanti pada saat dia mau pulang ke Balikpapan.
Tamat